Kalau dipikir, kemiringan jalannya sampai 60 derajat, saya sudah cemas, karena setelah tanjakan langsung tikungan, lalu turun curam dan berbelok di jalan yang mulai berlumpur.
Apalagi yang bisa saya lakukan selain tertawa. Menertawakan hidup saya, yang jauh-jauh datang ke Papua hanya untuk menyetor nyawa.
Saat itu, Trans Papua sedang dibangun. Cerita yang saya dengar, awalnya saat pembukaan jalur, TNI lah yang bergerak. Beberapa titik masih rawan.
Kami sama-sama berdoa sambil bercanda di mobil. Wabah misterius itu merenggut puluhan nyawa anak-anak di Distrik Mbua. Media daring yang bagai kilat melaporkan 50an anak mati. Terlebih, saat itu sedang ramai pembicaraan tentang ebola.
Persiapan kami menghadapi itu semua adalah: mengucap basmalah. Keselamatan memang jadi faktor utama. Kebutuhan logistik sudah tersedia, peralatan medis dasar juga sudah ada.
Takdir membawa kami ke Distrik Mbua, untuk membukakan mata, siapapun yang ada di Jakarta.
Saat mobil tiba di jalan kecil menuju Distrik Mbua, bertepatan pula dengan iring-iringan warga. Ibu, dan anak menyanyi bersama. Ada semacam perayaan di sana.
Satu Desember ditandai dengan gerbang natal, pesta syukur atas berkat yang diberikan sekaligus menyambut perayaan natal 24 hari mendatang.
Saya bertemu dengan Kepala Desa, meminta izin untuk meliput. Ia berpesan agar tidak menyebutkan istilah OPM...
"ini perayaan gerbang natal, bukan hari jadi OPM,"
Distrik ini juga menjadi salah satu basis separatis, jejaknya masih terlihat di seberang sungai. Kami sempat didatangi dua orang yang membawa senjata.
Dia melihat manik-manik bendera bintang kejora yang menjadi hiasan kamera mirrorless yang saya pegang.
"Ini apa?" Tanyanya dengan nada datar
"Oh ini manik-manik beli di pasar,"
Saya menjelaskan maksud kedatangan saya, untuk mengetahui secara pasti, wabah apa yang menyerang anak-anak.
Bermula dari kematian ternak. Tak lama satu persatu anak meninggal dunia. Jumlahnya 38 anak, tidak seperti yang ramai diberitakan media daring di Jakarta.
Akses komunikasi langsung ke sumbernya terbatas, sehingga informasi simpang siur. Baru bisa melihat apa yang terjadi jika kita di lokasi kejadian.
Satu-satunya dokter di Distrik Mbua, mengaku datang per dua minggu. Bayangkan satu dokter melayani hampir 3 ribu orang dari tiga distrik dan daerah lain di sekitar distrik Mbua.
Saya berkeliling di distrik Mbua. Pemandangannya spektakuler. Sebuah lembah, dengan rumah moderen dan honai, rumput sedang menghijau, air di sungai sangatlah jernih. Tidak ada ternak bersliweran karena sebagian sudah mati. Bertemulah dengan keluarga Kusurumbue, sang kepala keluarga menjelaskan, dua dari tiga anaknya meninggal dunia karena wabah ini.
Diawali dengan flu dan batuk, lalu badan lemah, panas tinggi dan meninggal dunia. Tim dokter dari dinas kesehatan kabupaten Jayawijaya juga sempat memeriksa dan mengumpulkan sampel darah anak-anak yang masih hidup.
Acara puncak sedang berlangsung. Mereka seperti terhibur dari duka mendalam. Upacara bakar batu dilaksanakan.
Tiga lubang dibuat untuk menaruh daging, ubi dan dedaunan. Batu yang sudah dibakar ditaruh di lubang itu.
Tahun ini, gerbang natal bagi mereka cukup sederhana. Tahun kemarin, banyak lubang dan daging untuk mereka berikut dengan hasil kebun yang melimpah.
Akibat musim kering, mereka gagal panen. Persediaan pangan menipis. Iklim tidak bersahabat, dari panas terik lalu beralih dingin menusuk.
Anak-anak yang paling lemah, harus kalah dalam peralihan musim dan gagal panen. Para orang tua tidak sempat pergi ke Wamena untuk memeriksakan anak-anak mereka ke dokter. Biaya transportasi terlalu mahal, setidaknya, butuh 500 ribu rupiah perorang untuk pergi ke kota.
Ini di jantung Papua. Hati saya seperti teriris mengetahui fakta ini. Apalagi di Jakarta, seorang menteri koordinator, menyalahkan warga karena hidup dalam sanitasi yang buruk.
Di daerah yang hampir terisolasi, mereka memasak airnya sampai mendidih. Tinggal di rumah moderen, honai digunakan sebagai tempat penyimpan hasil panen.
Air di sungai mengalir deras, sumber air bersih dekat sekali dengan mereka. Kamar mandinya pun bersih, yang jauh dari Jakarta, belum tentu seprimitif itu.
100 tahun lalu, doktor Lorentz takjub dengan manusia primitif Papua yang kadang kanibal. Tapi peradaban berkembang.
Apa yang terjadi di Distrik Mbua?
Wabah itu bernama pneumonia. Bukan flu burung, atau bahkan Ebola.
Obatnya hanya satu, tidak abai kepada mereka yang hidup hampir terisolasi dari dunia luar.
Jalan tertinggi di Indonesia itu, hari ini telah memudahkan mereka, terutama dengan BBM satu harga.
Bagian pertama dalam tulisan ini bisa klik di sini
Comments
Post a Comment