Skip to main content

Jalan Raya Tertinggi di Indonesia 3600 MDPL (1)











Dua tahun lalu, pergi ke Papua itu sangat mahal, bahkan lebih mahal ketimbang berlibur ke Jepang. Kalau bukan karena penugasan dari rapat redaksional, saya tak mungkin bisa ke sana. Saat itu saya mengejar cerita tentang kematian misterius puluhan anak di Distrik Mbua, Kabupaten Nduga.

Saya masih ingat, penerbangan dari Jakarta, transit dahulu di Makassar, berlanjut menuju Manokwari, kemudian Jayapura, dan akhirnya tiba di Wamena. Bandaranya kala itu masih tradisional. Saya gambarkan seperti terminal bus era 90an. Tapi sekarang bandara yang baru sudah dibuka, setaraf dengan bandara-bandara di tempat saya dan tim, transit sebelum sampai Wamena. Pak Nico, driver kami menjemput dengan mobil yang memiliki spesifikasi tangguh di medan pegunungan. Kami mengisi bahan bakar dahulu. 20 liter bensin, seharga 2 juta rupiah. Saya dan kedua rekan langsung terkejut.

Pegunungan di sekeliling menyembul, pamer keindahan. Saya tanyakan kepadanya, apakah dia bahagia tinggal di sini? Lalu ia jawab, untuk satu atau dua hari mungkin anda bahagia, namun selebihnya anda akan berpikir keras bagaimana bisa menghasilkan uang banyak dari ekonomi biaya tinggi di wamena, dan sebagian besar wilayah papua.

Untuk satu kali makan saja, kami bisa menghabiskan 50 ribu rupiah per orang. Mengakses internet masih jadi barang mewah, karena biayanya 20 ribu rupiah per satu jam.

Butuh uang Rp 5 juta rupiah untuk perjalanan jarak jauh, dari Wamena ke Distrik Mbua, tujuan liputan kami.

Jaraknya sekitar 50 km, kalau ditarik garis lurus. Tetapi satu-satunya jalan, lewat Trans Papua, dengan total perjalanan sekitar 300 km. Seluruhnya melalui jalan bebatuan.

Jalanan menanjak perlahan dari Wamena. Hingga akhirnya, matahari terbit bertepatan ketika kami sampai di Danau Habema. Awan tebal selalu menggelayut waktu itu. Suasanya sangat gelap, misterius. Musim kering teramat panjang hingga Desember, kemudian mendadak hujan, tanda awal musin hujan mulai datang.

Kabut turun menyelimuti jalanan, dan pegunungan sekitar. Habema adalah tempat yang cocok bagi para pecinta film Jurrasic Park, karena kita seperti kembali ke zaman Jura.


Suasana yang dibangun oleh alamnya sangat mendukung, termasuk vegetasi dan habitatnya. Daerah ini semacam almanak bagi yang suka perjalanan sangat panjang sejarah terbentuknya Bumi, hingga berhabitat seperti saat ini




Trans Papua bisa jadi adalah jalan tertinggi di Indonesia. Kami berenti sejenak untuk melihat sekeliling di ketinggian 3.600 meter di atas permukaan laut. Kami tidak punya waktu panjang di Habema, perhutungannya, jika berangkat pukul 4.00 dini hari, maka tiba di Mbua pada pukul 11 atau 12 siang.






Baris pegunungan yang saya lihat dalam google maps kini menjadi kenyataan. Tepat di depan mata saya. Suhu udara berada pada kisaran 3 -5 derajat celcius. Dari kejauhan terlihat puncak Trikora dengan ketinggian 4.750 meter di atas permukaan laut, satu dari tiga puncak tertinggi di Papua. Dalam foto terakhir yang dipublikasikan Tim Laman lewat akun instagramnya, Puncak Trikora kini tidak bersalju.


Kami sedang berada di jantung Papua, yang termasuk kawawan Taman Nasional Lorentz. Merujuk  tulisan di Explorations in Dutch New Guinea yang diterbitkan Bulletin of the American Geographical Society (Vol. 43, No. 11, 1911, halaman 837-844) menyebutkan bahwa Hendrikus Albertus Lorentz sebagai ahli zoologi, memimpin ekspedisi di Papua Tengah bersama dengan Commander J. W. van Nouhuys (geolog, kartografer and meteorolog), Surgeon Romer (ahli botani, medis and anthropolog), beberapa orang Dayak sebagai penunjuk jalan dan pengawalan dari militer di bawah komando Letnan D. Habbema.

Di dalam jurnal itu, terseliplah kalimat puncak Wilhemina, yang sekarang bernama Trikora, bermahkota salju abadi. Ada identifikasi flora dan fauna dalam catatannya, termasuk bagaimana kebudayaan primitif membuat takjub pemimpin ekspedisi.





Saya berhenti sejenak, terkepung bukit-bukit batu gamping. Kaki saya berdiri di garis pegunungan sebagai bukti bahwa dahulu 60 juta tahun dari saat ini, Papua terbentuk dari sedimentasi Benua Sahul dan pertumbukan antara lempeng Sunda, Sahul dan Pasifik.



Bukti pertumbukan itu dapat dilihat dari kontur pulau yang terdapat gugusan pegunungan tengah atau Jayawijaya dan barat Papua.



Pulau Papua baru terpisah dari daratan Australia pada pengujung zaman es.

Sebagian ahli mengatakan Papua termasuk daratan baru, yang muncul dari laut, dalam eaktu puluhan juta tahun. Bukti utamanya adalab batu-batu gamping ini yang terdesak dan membawa fosil mahluk laut. Fosil-fosil itu berserakan di sini.



Lapisan demi lapisan pegunungan membuat siluet indah di belakang sana. Matahari pagi, baru saja terbit, membiaskan cahaya masuk ke gumpalan awan. Karena masa peralihan, selain suhu jadi sangat dingin, rerumputan berwarna cokelat sedikit disusupi hijau.




Saat kabut turun, suasana yang terbangun sangatlah mistis. Saya seperti berada di tengah negerinya para penyihir. Naga sedang tidur pulas, mungkin di tengah hutan, seorang penyihir sedang meramu cairan hidup abadi...

Bersambung ke bagian kedua, bisa klik di sini










Comments

Popular posts from this blog

At the end of pandemic? A moment of new fresh air?

Ada di pertengahan film menuju klimaks atau ketika akhir di sebuah cerita ketika si tokoh utama memulai babak baru hidupnya. Dia berjalan dengan sangat meyakinkan meski tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.  Karena itu film dan dengan sengaja saya sering mencari momen new fresh air itu. Movies I watched did a great job to manipulate my inner child to find my own new fresh air moment. I did it everytime I have new project and finished, again and again, it was like a pattern of my work cycle.  A bit new fresh air isn't? Ketika Presiden Jokowi mengumumkan bahwa PPKM sudah dicabut, seharusnya menjadi momen 'a new fresh air' tapi bagi saya kok terasa hampa. Ada perasaan aneh ketika mengingat betapa pahit dan sekaligus manis kehidupan yang saya alami pada 2020 lalu.  Sepulang dari Taiwan pada Februari 2020 lalu, saya baru memahami bahwa pandemi global ini adalah kenyataan yang saya harus terima. Penyakit misterius yang belum ada obatnya dan seketika dunia menjadi sepi.  B

Jalan Raya Tertinggi di Indonesia 3600 MDPL (2)

Kalau dipikir, kemiringan jalannya sampai 60 derajat, saya sudah cemas, karena setelah tanjakan langsung tikungan, lalu turun curam dan berbelok di jalan yang mulai berlumpur. Apalagi yang bisa saya lakukan selain tertawa. Menertawakan hidup saya, yang jauh-jauh datang ke Papua hanya untuk menyetor nyawa. Saat itu, Trans Papua sedang dibangun. Cerita yang saya dengar, awalnya saat pembukaan jalur, TNI lah yang bergerak. Beberapa titik masih rawan. Kami sama-sama berdoa sambil bercanda di mobil. Wabah misterius itu merenggut puluhan nyawa anak-anak di Distrik Mbua. Media daring yang bagai kilat melaporkan 50an anak mati. Terlebih, saat itu sedang ramai pembicaraan tentang ebola. Persiapan kami menghadapi itu semua adalah: mengucap basmalah. Keselamatan memang jadi faktor utama. Kebutuhan logistik sudah tersedia, peralatan medis dasar juga sudah ada. Takdir membawa kami ke Distrik Mbua, untuk membukakan mata, siapapun yang ada di Jakarta. Saat mobil tiba di jalan keci