Perjumpaan saya dengan secangkir kopi pahit, dimulai pada 2013 lalu, ketika saya mendatangi Kedai Kopi Asiang, di Pontianak, Kalimantan Barat.
Laki-laki tua bertelanjang dada, dengan tato yang gambarnya tak menarik, menyeduh kopi degan atraksi. Mengangkat tinggi-tinggi ketel dan mengaliri gelas-gelas porselain kecil ala Kopi Tiam. Istrinya membagikan gelas-gelas itu kepada para pemesan, termasuk saya.
Om Asiang, kebanyakan orang memanggilnya, mencampur sendiri biji kopi dari beberapa penyuplai, lalu menggilingnya. Kala itu, saya belum mengenal kopi, yang saya tahu adalah ketika Om Asiang mulai beratraksi itu semacam kode untuk memanggil para pelanggan, bahkan yang tidak menyukai kopi, seperti saya.
Pelanggannya, adalah pebisnis teri hingga kakap, politikus bawah tanah, hingga yang fotonya sudah terpampang di mana-mana pada saat pemilihan anggota legislatif. Saya, hanyalah seseorang yang memanfaatkan mesin pencari google, tempat populer mana sekitar hotel yang harus dikunjungi.
Kalau kopi adalah medium untuk berdiskusi, ini pun yang terjadi di Kota Ambon medio 2011. Kala itu, Kota Ambon seakan hampir kembali ke masa kelam saat isu agama jadi bahan konflik.
Saat pesawat sudah mendarat di Bandara Pattimura, Ambon, sambil menunggu bagasi, puluhan orang berseragam tentara mondar-mandir.
Terlintas di benak saya, sekelam itukah konfliknya?
Jalan menuju pusat kota diblokade. Karena itulah, untuk bisa ke kota, saya dan banyak orang lainnya, harus naik kapal motor, untuk bisa sampai ke Pasar Batu Merah, lalu...mungkin naik angkutan kota ke sekitar Tugu Trikora.
Nasib baik menyertai saya, kala liputan waktu itu. Kontributor daerah, yang menyetor berita ke Jakarta, berhasil mencarikan saya rental mobil beserta supirnya. Satu kilometer dari Tugu Trikora, hotel yang masih beroperasi saat konflik berlangsung, menjadi satu-satunya harapan baik, bahwa tidak ada eskalasi konflik di sini. Saya menginap di hotel itu.
Tugu Trikora masih berasap. Batu dan pecahan kaca berserakan. Rumah Kopi tutup.
Lusinan mobil terbakar, api masih berkobar. Gereja dijaga, begitupun dengan Masjid.
Tiga hari kemudian, satu Rumah Kopi sudah buka. Namanya Rumah Kopi Sibu-Sibu.
Di Rumah Kopi itulah, saya temukan berbagai macam kebiasaan. Tempat untuk berdiskusi segala elemen masyarakat, dan terutama penanda jika keadaan mulai terkendali. Satu hari sebelumnya, supir yang mengantar saya ke daerah muslim, tak berani lebih dekat lagi, ia menurunkan saya di persimpangan yang masih menjadi area perbatasan antara muslim dan nasrani, saat konflik, ada semacam tembok tinggi sekali yang tak terlihat mata, tembok yang dibangun dari rasa takut dan trauma, serta bumbu cerita yang beredar di tengah masyarakat.
Namun ketika sudah masuk ke Rumah Kopi, dimensinya lain. Temboknya dihiasi foto-foto tokoh-tokoh ternama di Indonesia dan Dunia, yang berasal atau bahkan keturunan orang Ambon.
Kedai kopi dari kota ini bak terminal universal. Semua bisa saling 'nyambung' karena punya tujuan yang sama; Menunggu saatnya tiba untuk berangkat, menunggu saatnya tiba kembali dalam kehidupan sesungguhnya.
Sesuatu yang menenangkan saya kala itu adalah Kopi Rarobang, campuran Robusta, Jahe, dan mungkin rempah lainnya, ditaburi kacang Kenari, dengan camilan Sagu, satu tegukan berarti sekali. Ada cerita dari secangkir kopi ini.
Dahulu Para pelaut datang dari mana-mana. Jika hanya kopi saja, rasanya sangat 'sangar' di perut. Apalagi para pelaut ini baru saja mengalami kejadian memilukan, kapalnya terkoyak karena gelombang tinggi di perairan Maluku.
Seorang perempuan manis, menambahkan jahe ke dalam cangkir yang sudah terisi kopi, ditambah madu, untuk menenangkan para pelaut itu.
Bukan itu ceritanya, saya hanya berkhayal. Kopi di Maluku agak wagu . Karena hampir tidak ada perkebunan Kopi di Maluku, adapun di Pulau Seram, kalau dengar dari cerita para pengunjung Rumah Kopi.
Saya sempat tanya sedikit ke sang Pemiliknya, June Manuhutu. Katanya, kopi datangnya dari Sulawesi, orang Ambon tidak minum kopi, tetapi minum teh, kebiasaan yang diturunkan Belanda pada zaman kolonial, ide menambahkan kenari, dan rempah lainnya, bagi June adalah representasi dari Maluku, daerah penghasil rempah, yang ada di dalam secangkir kopi.
Rumah Kopi Sibu-Sibu di Kota Ambon, hadir saat resolusi konflik berlangsung. Meskipun kopi tidak populer, Rumah Kopi adalah tempat paling netral yang mempertemukan berbagai kubu di Kota Ambon.
Comments
Post a Comment