Skip to main content

Kopi & Yang Belum Selesai (9)



Andai saja, bahan plastik sekali pakai di kedai kopi tidak lagi digunakan, akan sangat berarti bagi lingkungan. Andai saja pengguna plastik sadar kalau plastik bisa dipakai berkali-kali. Andai, yang anti plastik bisa sadar, musuhnya itu bukan plastiknya, tapi cara manusia memperlakukan plastik.

Apalah aku ini, semacam SJW baru 'meletek' saja.

Beberapa kedai di Jakarta sudah memulainya satu tahun belakangan. Lalu baru-baru ini, Starbucks memulainya, dengan meniadakan sedotan plastik, yang ditargetkan pada 2020 nanti serentak di seluruh gerai di dunia. Walaupun ada protes bagi yang berkebutuhan khusus...solusinya sebenarnya lebih mudah, bawa sedotan sendiri yang bisa digunakan berulang-ulang.

Kopi bisa kita nikmati juga karena tanah yang kita pijak mendukung kehadirannya. Sebagai penikmat jasa lingkungan, mungkin kita bisa lebih bijak, diawali dengan hal yang paling kecil. Minum tanpa sedotan.

Dari lingkungan pula lah, kini terdapat seratusan varietas kopi di dunia.

Perjalanan kopi itu sudah hampir 15 abad. Melibatkan banyak ahli botani, sehingga menghasilkan banyak varietas.

Saya masih berdecak kagum terhadap diagram yang dibuat Bean Haus, diagram varietas menjelaskan kopi saat pertama kali diminum di Abbyssinia sampai kita minum di Jakarta.

Bayangkan, kekayaan alam anugerah sang Pencipta Semesta, digabungkan dengan pemikiran manusia, menghasilkan harta biologi yang tak ternilai.

Lebih dari 100 jenis kopi, tak melulu hanya arabica dan robusta. Saya penikmat arabica, perut tak cocok dengan robusta. Padahal pada mulanya, arabica adalah hasil persilangan antara robusta dengan Coffea eugenioides. Persilangan ini terjadi di Abyssinia.



Kalau kita bingung tentang jenis-jenis kopi, secara komersil, ada sembilan jenis yang beredar di dunia. Kalau kita pernah ingat, Belanda menyebarkan bibit kopi ke tanah Jawa untuk pertama kalinya dengan bibit Typica, semua varietas turunan kopi, berawal dari Typica, uniknya, pohon kopi menyesuaikan dengan tanah tempat ia tumbuh. Misal criollo (Amerika Selatan), kona (Hawaii), blue mountain (Jamaica), dan garundang (Sumatera).

"Sedang ada arabica Bourbon, mau coba?"

Seorang pelayan di kedai kopi menawari saya bourbon, saya memilih diseduh dengan cara V60, padahal dia merekomendasikan saya untuk ditubruk. Bourbon yang saya ingat adalah usaha Prancis pada 1708 untuk menanam bibit Typica dari Belanda di Pulau Bourbon, sekali lagi, terjadi penyesuaian terhadap kondisi alam. Pohon kopi bermutasi. Jika Typika menghasilkan panen buah kopi berwarna merah, Bourbon menghasilkan buah kopi berwarna kuning, oranye, hingga merah. Satu varietas yang tak pernah saya coba sampai saat ini adalah Mundo Novo, hasil persilangan antara Typica dan Bourbon, pertama kali ditemukan di Mundo Novo, Brazil.

Campur tangan manusia, mengasilkan Caturra, rekayasa genetis dilakukan oleh Instituto Agronomico of Campinas Brazil pada 1937.


India juga mengembangkan Linie-S yang tahan hama. Mutasi lain datang dengan nama Margogype di Brazil, sementara di Timor muncullah Arabusta atau Tim-tim, tahan hama dengan karakter rasa seperti arabica. Dari sana, terciptalah Catimor hasil kawin persilangan Caturra dengan Timor di Portugal pada 1959.

Kalau orang Takengon sering menyebut jenis ini adalah Ateng, bukan karena pendeknya seperti Ateng, namun merupakan singkatan dari Aceh Tengah.

Saat ini, satu varietas bernama Gesha, dinobatkan sebagai varietas terbaik dan termahal. Gesha hidup di Panama, karakternya unik sekaligus kompleks, aroma dan rasa floral melekat, ada semangat yang pekat, sangat puitis menjelaskan rasanya. Lidah saya sampai-sampai tidak bisa menerima kopi senikmat itu, apalagi pikiran saya, karena harganya mahal. Ada yang bilang awalnya Gesha ini ditemukan di Pegunungan Gecha Etopia, salah satu varietas tua, yang bermutasi ketika ditanam di wilayah yang berbeda.

Tenang, perbedaan varietas ini juga menantang saya untuk menebak rasa, membandingkannya. Sungguh tidak bermaksud untuk mencari tahu mana yang paling enak, namun mana yang paling bisa saya terima, baik di lidah, tenggorokan, perut, terlebih lagi pikiran.

Setiap teguk kopi menyimpan memori. Memori pula yang membantu para ahli untuk mendefinisikan, dan mengembangan banyak varietas.

Memori bisa berbeda jika mediumnya antar manusia. Catatan tentang varietas juga bisa salah. Karena sejatinya kopi tidak memiliki tanda pengenal atau nomor kependudukan.

Sama seperti saya, yang bangga sudah minum varietas abyssinia, yang selama satu pekan kesulitan mencari jejak dan turunannya dalam diagram pohon kopi. Anggaplah, varietas itu adalah Adam-nya kopi sedunia.


Comments

Popular posts from this blog

Jalan Raya Tertinggi di Indonesia 3600 MDPL (1)

Dua tahun lalu, pergi ke Papua itu sangat mahal, bahkan lebih mahal ketimbang berlibur ke Jepang. Kalau bukan karena penugasan dari rapat redaksional, saya tak mungkin bisa ke sana. Saat itu saya mengejar cerita tentang kematian misterius puluhan anak di Distrik Mbua, Kabupaten Nduga. Saya masih ingat, penerbangan dari Jakarta, transit dahulu di Makassar, berlanjut menuju Manokwari, kemudian Jayapura, dan akhirnya tiba di Wamena. Bandaranya kala itu masih tradisional. Saya gambarkan seperti terminal bus era 90an. Tapi sekarang bandara yang baru sudah dibuka, setaraf dengan bandara-bandara di tempat saya dan tim, transit sebelum sampai Wamena. Pak Nico, driver kami menjemput dengan mobil yang memiliki spesifikasi tangguh di medan pegunungan. Kami mengisi bahan bakar dahulu. 20 liter bensin, seharga 2 juta rupiah. Saya dan kedua rekan langsung terkejut. Pegunungan di sekeliling menyembul, pamer keindahan. Saya tanyakan kepadanya, apakah dia bahagia tinggal d...

At the end of pandemic? A moment of new fresh air?

Ada di pertengahan film menuju klimaks atau ketika akhir di sebuah cerita ketika si tokoh utama memulai babak baru hidupnya. Dia berjalan dengan sangat meyakinkan meski tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.  Karena itu film dan dengan sengaja saya sering mencari momen new fresh air itu. Movies I watched did a great job to manipulate my inner child to find my own new fresh air moment. I did it everytime I have new project and finished, again and again, it was like a pattern of my work cycle.  A bit new fresh air isn't? Ketika Presiden Jokowi mengumumkan bahwa PPKM sudah dicabut, seharusnya menjadi momen 'a new fresh air' tapi bagi saya kok terasa hampa. Ada perasaan aneh ketika mengingat betapa pahit dan sekaligus manis kehidupan yang saya alami pada 2020 lalu.  Sepulang dari Taiwan pada Februari 2020 lalu, saya baru memahami bahwa pandemi global ini adalah kenyataan yang saya harus terima. Penyakit misterius yang belum ada obatnya dan seketika dunia menjadi sepi....

New York dan realita

Suatu hari saya pernah gagal melanjutkan sekolah di Universitas di New York, sudah kepalang tanggung resign dari tempat kerja. Terdampar ketika musim dingin dan kembali tertampar di realita Jakarta.  Bebeapa mungkin ada yang mencibir, tetapi saya pikir konsekuensi logis karena sudah woro-woro sekolah dan ternyata kembali tanpa gelar karena perkara funding.   Saya punya semacam “Hollywood dream” tentang New York, dicekoki semenjak film Home Alone dan sederet film lainnya yang menyuguhkan sisi gemerlap New York.  Atau buku-buku tentang New York dan meromantisasi kemegahan kota itu.  Itulah saya 10 tahun lalu. Anak muda yang mabuk cinta dengan kota yang digambarkan film-film. Belum berpikir bayar sewa tempat tinggal, makan sehari-hari dan apa yang akan saya lakukan selain jalan-jalan di Time Square dengan panoramic view lalu lari pagi di Central Park?  Saya berpikir begini: “Pokoknya saya harus bisa menetap di sana ketika usia 30an.” Dan lihatlah saya masih di Jaka...