Skip to main content

Kopi & Yang Sudah Selesai (10)


Pekan ini akhirnya selesai juga seri Kopi & Yang belum Selesai. Untuk episode terakhir seri Kopi, saya beri judul Kopi & Yang Sudah Selesai. Sesuai urutan dari seri 1 hingga 10, bisa dibaca juga.

Saya beruntung bisa merasakan nikmat kopi, bertemu para penggila Kopi yang tak pelit ilmu, dan beberapa kali merasakan momen kenikmatan puncak bersama kopi yang saya teguk. Seri kopi ini bukan bermaksud sok tahu, tapi semuanya akan terjawab dalam episode terakhir. 

Kalau sudah jadi bagian hidupmu, sudikah dirimu berbagi rasa bahagia, atau bahkan mencari momen yang tepat untuk menikmati kopimu?

Saya sedang membuat film hidup saya sendiri. Saya membuat story boardnya, menyutradarainya dan sebagai tokoh utamanya.

Tiap babak sangatlah penting, untuk menentukan, film macam apa yang saya buat. Campur tangan Tuhan bagaimana?

Bagi saya, entitas maha agung itu yang memberikan banyak probabilitas, karena film kehidupan ini, tidak pernah memiliki naskah.

Saat ini, anda sedang membaca, naskah film kehidupan, yang pernah saya buat.

Kopi yang tak punya nomor kependudukan, saya siapkan pagi ini. Setelah sarapan di sebuah hotel di Ginza, Tokyo. Hari itu saya ingin pergi menjauhi hiruk pikuk jutaan manusia yang masih takjub menyeberang di depan stasiun Shibuya.

Bubuk kopi yang sudah saya bawa dari Jakarta, masuk ke dalam french press portable, pertemuan bubuk kopi kasar, dengan air panas, mungkin salah satu ungkapan cinta dari bumi kepada manusia. Seisi kamar harum kopi Arabica Ramung, yang dikirim Hendra dari Takengon.

Saya sengaja menumpuk stok kopi di rumah, agar tidak terlalu sering mampir di kedai kopi.


Sebenarnya Tokyo juga banjir kopi. Setiap sudut kota terisi kedai kopi. Dari gerai kopi internasional, lokal hingga yang paling sederhana.

Ada cita rasa yang hampir seragam, sama halnya yang saya rasakan dari kopi yang saya beli di vending machine. Untungnya ada opsi kopi tanpa gula dan tersedia hangat. Pahit ringan, dengan sepercik rasa kacang tanah dan sedikit floral, tapi sekilas earthy...saya kurang yakin dengan apa yang saya rasakan.

Kopi hangat sangat pas menemani saya, saat musim dingin. Sambil mengoles petroleum gel di bagian tangan, siku, dan bibir, penghangat ruangan di kamar hotel saya matikan, meraih tas punggung, untuk berangkat menuju stasiun terdekat.

Tujuan saya asalah Okutama, bagian ujung rel kereta di Tokyo. Area pegunungan dengan danau buatan penyedia air bagi jutaan warga Tokyo.

Dua jam perjalanan saya habiskan sambil melihat sisa salju pekan lalu yang masih tersisa.

Kita selalu ingin mencari momen terbaik. Ada yang tak sengaja, dalam pencarian yang saya lakukan, saya pastikan ini penuh dengan faktor kesengajaan. Okutama bukan daerah pariwisata, bahkan sepi pengunjung.

Saat kau mencoba membaca pikiranmu sendiri, mencari tahu apa yang kau inginkan, kadang kau kebingungan, karena pikiranmu terlalu absurd untuk dirasuki.

Tetapi pagi ini lain, setiap orang punya versi wonderland nya sendiri, begitupun saya.

Musim dingin dan kesunyian adalah kata kuncinya. Pegunungan dengan kontur putih terpantul biasan sinar matahari di sekeliling.

Untuk meraihnya, saya harus melewati jalan setapak yang sepi, bermacam-macam tanjakan dan tangga, penunjuk arah yang berbahasa jepang, menyusuri sungai,mengelilingi dam, menapaki gunung, hingga sampai di titik yang saya inginkan, itulah tujuan saya hari ini.



Tidak memaksakan kehendak harus sampai puncak. Toh saya hanya punya waktu paling lama 30 menit di luar saat suhu nol derajat menyelimuti pegunungan dengan salju yang masih bertengger di sela-sela pohon pinus.





Saya temukan titik itu. Dengan wonderland versi saya. Jauh dari hingar bingar.

French press yang sering saya gunakan untuk travel, kini menemukan momennya. Saya bersandar di pohon berlumut, yang sedang dilumat salju. Kopi hangat siap masuk kerongkongan.

Seteguk...lalu ingat..

Dua teguk penuh nikmat...

Tegukan demi tegukan hingga sisakan rasa syukur.

Oh bumi, kau inginkan negosiasi...perantaramu adalah air sepekat tinta, penuh dengan festival di mulut dan pikiran.

Saya rasa dia ingin bernegosiasi bersama kita manusia yang telah menghancurkan sebagian besar ekosistem di dalamnya. Kita memunahkan banyak spesies yang hidup damai, jauh sebelum manusia mengenal aksara.

Bumi ternyata sedang berkomunikasi kepada kita, untuk dapat memperpanjang usianya.

Banyak pertanyaan menghampiri saya, apakah kelak anak cucu saya bisa menikmati seteguk kopi ini? Apakah nanti kebun kopi musnah karena perubahan iklim? Apakah orang-oramg akan berebut air, rela membayar mahal seharga batu mulia? Apakah kita akan berebut beras? Apakah kita sudah tidak bisa menebak pola musim?

Kopi, dengan varietas seratusan, lalu disajikan dengan ribuan cara. Dikemas menggunakan macam-macam bahan. Kopi dinikmati ketika kau justru ingin menyudahi permainan mu, atau ketika gemuruh mesin espresso mendominasi suara ruangan kedai kopi, tempatmu memulai hari...

Kopi adalah penanda waktu. Dari panas, hangat, hingga jadi dingin

Ketika kopi menjadi alat komunkasi sesama manusia, kopi juga pengingat kita kepada kekayaan yang bumi kita miliki.

Kita masih punya masa depan. 15 menit waktu paling berharga, antara saya, kopi, dan bumi.

Saya berdiri di atas tumpukan salju, mengingat tempat yang saya datangi masih menjadi habitat beruang, maka lebih baik saya turun. Mencari kehangatan. Sepatu yang bergesekan dengan salju menghasilkan suara penuh kepuasan.

Dinginnya menusuk. Tetapi akan lebih menusuk jika terjadi peningkatan suhu udara di sekitar kita.

Kopi, dengan lembut berselancar di dalam pikiran saya, menyatukan segala fragmen yang pecah di benak.

Comments

Popular posts from this blog

Jalan Raya Tertinggi di Indonesia 3600 MDPL (1)

Dua tahun lalu, pergi ke Papua itu sangat mahal, bahkan lebih mahal ketimbang berlibur ke Jepang. Kalau bukan karena penugasan dari rapat redaksional, saya tak mungkin bisa ke sana. Saat itu saya mengejar cerita tentang kematian misterius puluhan anak di Distrik Mbua, Kabupaten Nduga. Saya masih ingat, penerbangan dari Jakarta, transit dahulu di Makassar, berlanjut menuju Manokwari, kemudian Jayapura, dan akhirnya tiba di Wamena. Bandaranya kala itu masih tradisional. Saya gambarkan seperti terminal bus era 90an. Tapi sekarang bandara yang baru sudah dibuka, setaraf dengan bandara-bandara di tempat saya dan tim, transit sebelum sampai Wamena. Pak Nico, driver kami menjemput dengan mobil yang memiliki spesifikasi tangguh di medan pegunungan. Kami mengisi bahan bakar dahulu. 20 liter bensin, seharga 2 juta rupiah. Saya dan kedua rekan langsung terkejut. Pegunungan di sekeliling menyembul, pamer keindahan. Saya tanyakan kepadanya, apakah dia bahagia tinggal d...

At the end of pandemic? A moment of new fresh air?

Ada di pertengahan film menuju klimaks atau ketika akhir di sebuah cerita ketika si tokoh utama memulai babak baru hidupnya. Dia berjalan dengan sangat meyakinkan meski tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.  Karena itu film dan dengan sengaja saya sering mencari momen new fresh air itu. Movies I watched did a great job to manipulate my inner child to find my own new fresh air moment. I did it everytime I have new project and finished, again and again, it was like a pattern of my work cycle.  A bit new fresh air isn't? Ketika Presiden Jokowi mengumumkan bahwa PPKM sudah dicabut, seharusnya menjadi momen 'a new fresh air' tapi bagi saya kok terasa hampa. Ada perasaan aneh ketika mengingat betapa pahit dan sekaligus manis kehidupan yang saya alami pada 2020 lalu.  Sepulang dari Taiwan pada Februari 2020 lalu, saya baru memahami bahwa pandemi global ini adalah kenyataan yang saya harus terima. Penyakit misterius yang belum ada obatnya dan seketika dunia menjadi sepi....

New York dan realita

Suatu hari saya pernah gagal melanjutkan sekolah di Universitas di New York, sudah kepalang tanggung resign dari tempat kerja. Terdampar ketika musim dingin dan kembali tertampar di realita Jakarta.  Bebeapa mungkin ada yang mencibir, tetapi saya pikir konsekuensi logis karena sudah woro-woro sekolah dan ternyata kembali tanpa gelar karena perkara funding.   Saya punya semacam “Hollywood dream” tentang New York, dicekoki semenjak film Home Alone dan sederet film lainnya yang menyuguhkan sisi gemerlap New York.  Atau buku-buku tentang New York dan meromantisasi kemegahan kota itu.  Itulah saya 10 tahun lalu. Anak muda yang mabuk cinta dengan kota yang digambarkan film-film. Belum berpikir bayar sewa tempat tinggal, makan sehari-hari dan apa yang akan saya lakukan selain jalan-jalan di Time Square dengan panoramic view lalu lari pagi di Central Park?  Saya berpikir begini: “Pokoknya saya harus bisa menetap di sana ketika usia 30an.” Dan lihatlah saya masih di Jaka...