Skip to main content

Misteri Wiji Kawih



Wiji Kawih sempat disebut dalam buku All About Coffee, merujuk dari Encyclopedia Britannica 1910 edisi XV, Prasasti yang dibuat pada tahun 856, menyebutkan Wiji Kawih, yang dikatakan sebagai kaldu biji-bijian dalam daftar minuman Jawa oleh David Tapperi, pada 1667, yang kemungkinan kopi.

Saya terkejut setengah mati. Hampir mustahil pada masa itu kopi sudah masuk di Indonesia, karena catatan jurnal secarah para pengelana dan pedagang tidak menyebutkan kopi. Pamor kopi kala itu masih kalah dengan rempah.

Prasasti tahun 856, menjerumuskan pencarian saya kepada Prasasti Shivagrha, yang saat ini berada di Museum Nasional.

Prasasti itu asalah cerita tentang Candi Prambanan.

Jika kita lihat lini masa kopi, Kaldi tak sengaja menemukannya kira-kira 200 tahun sebelumnya, dalam jangka waktu itu, kopi mulai dibudidayakan bangsa Arab. Pada masa yang bersamaan, saya agak skeptis, bagaimana bisa kopi yang dikatakan tanaman endemik masuk ke Indonesia?


Ada banyak pikiran liar yang terbesit, jalur migrasi burung yang mungkin membawa biji Kopi? Jalur perdagangan kerajaan-kerajaan nusantara?

Mungkin ada catatannya di suatu tempat.

Lewat bantuan seseorang yang sangat baik...

Ia memberikan nomor seorang ahli sejarah yang sering bergelut dengan kamus Jawa kuno untuk membaca dan mengartikan prasasti, Ismail Lutfi.

Informasinya sangat jelas, dan berguna, meskipun harus dilakukan penelitian lebih mendalam.

"Pak apakah ada frasa wiji kawih dalam prasasti yang sudah teridentifikasi? Kalau ada, makna sesungguhnya apa?"

Dia lantas membalas pesan saya dengan mengatakan "sebentar saya coba baca lagi"

Saya cemas menanti...

"Wiji kawih tidak pernah ada dalam prasasti manapun yang pernah saya baca"

Dia hanya mengetahui Frasa Wiji Kawah, Pada banyak prasasti, merupakan salah satu dari kelompok mangilala drawyahaji (petugas penghimpun hak raja). Wiji Kawah adalah sebuah profesi.

Sementara ini, mungkin ada kesalahan kala frasa Wiji Kawih tercatat dalam jurnal.

Sejarah bisa saja salah, karena dibuat dengan sifat otoritarian.

Comments

Popular posts from this blog

Jalan Raya Tertinggi di Indonesia 3600 MDPL (1)

Dua tahun lalu, pergi ke Papua itu sangat mahal, bahkan lebih mahal ketimbang berlibur ke Jepang. Kalau bukan karena penugasan dari rapat redaksional, saya tak mungkin bisa ke sana. Saat itu saya mengejar cerita tentang kematian misterius puluhan anak di Distrik Mbua, Kabupaten Nduga. Saya masih ingat, penerbangan dari Jakarta, transit dahulu di Makassar, berlanjut menuju Manokwari, kemudian Jayapura, dan akhirnya tiba di Wamena. Bandaranya kala itu masih tradisional. Saya gambarkan seperti terminal bus era 90an. Tapi sekarang bandara yang baru sudah dibuka, setaraf dengan bandara-bandara di tempat saya dan tim, transit sebelum sampai Wamena. Pak Nico, driver kami menjemput dengan mobil yang memiliki spesifikasi tangguh di medan pegunungan. Kami mengisi bahan bakar dahulu. 20 liter bensin, seharga 2 juta rupiah. Saya dan kedua rekan langsung terkejut. Pegunungan di sekeliling menyembul, pamer keindahan. Saya tanyakan kepadanya, apakah dia bahagia tinggal d...

At the end of pandemic? A moment of new fresh air?

Ada di pertengahan film menuju klimaks atau ketika akhir di sebuah cerita ketika si tokoh utama memulai babak baru hidupnya. Dia berjalan dengan sangat meyakinkan meski tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.  Karena itu film dan dengan sengaja saya sering mencari momen new fresh air itu. Movies I watched did a great job to manipulate my inner child to find my own new fresh air moment. I did it everytime I have new project and finished, again and again, it was like a pattern of my work cycle.  A bit new fresh air isn't? Ketika Presiden Jokowi mengumumkan bahwa PPKM sudah dicabut, seharusnya menjadi momen 'a new fresh air' tapi bagi saya kok terasa hampa. Ada perasaan aneh ketika mengingat betapa pahit dan sekaligus manis kehidupan yang saya alami pada 2020 lalu.  Sepulang dari Taiwan pada Februari 2020 lalu, saya baru memahami bahwa pandemi global ini adalah kenyataan yang saya harus terima. Penyakit misterius yang belum ada obatnya dan seketika dunia menjadi sepi....

New York dan realita

Suatu hari saya pernah gagal melanjutkan sekolah di Universitas di New York, sudah kepalang tanggung resign dari tempat kerja. Terdampar ketika musim dingin dan kembali tertampar di realita Jakarta.  Bebeapa mungkin ada yang mencibir, tetapi saya pikir konsekuensi logis karena sudah woro-woro sekolah dan ternyata kembali tanpa gelar karena perkara funding.   Saya punya semacam “Hollywood dream” tentang New York, dicekoki semenjak film Home Alone dan sederet film lainnya yang menyuguhkan sisi gemerlap New York.  Atau buku-buku tentang New York dan meromantisasi kemegahan kota itu.  Itulah saya 10 tahun lalu. Anak muda yang mabuk cinta dengan kota yang digambarkan film-film. Belum berpikir bayar sewa tempat tinggal, makan sehari-hari dan apa yang akan saya lakukan selain jalan-jalan di Time Square dengan panoramic view lalu lari pagi di Central Park?  Saya berpikir begini: “Pokoknya saya harus bisa menetap di sana ketika usia 30an.” Dan lihatlah saya masih di Jaka...