Satu juta orang lebih mati di Auschwitz, peristiwa genosida yang tidak pernah akan bisa dilupakan dunia.
Sebuah negara yang suka dengan air mineral bersoda. Negara yang saat musim dingin begitu nikmat meminum sebotol vodka tanpa merasa mabuk ala orang-orang tropis seperti saya.
Mereka menyebut kopi dengan kawa, kopi terbaik yang bisa disajikan berasal dari Torino, Italia.
Negara yang masih mengandalkan batu bara untuk suplai energi, meski konfrensi PBB tentang perubahan iklim digelar di negara itu lebih dari sekali.
Saya tidak membahas tentang perubahan iklim kali ini.
Orang bilang, kita belum ke Polandia kalau belum ke Auschwitz, saya bersama dua rekan yang kebetulan ada di Polandia, Desember 2018 lalu memutuskan untuk mampir ke sana.
Ketika saya ke Auschwitz, saya baru sadar bahwa apa yang dibilang orang-orang itu benar. Bukan lantas memenuhi bucket list travel, dan dengan bangganya mengumumkan di sosial media.
Sebuah sejarah kelam yang saya tahu lewat sepenggal sejarah Eropa di buku ensiklopedia.
Dari Katowice, kereta membawa saya menuju Auschwitz-Birkenau, bagian selatan Polandia. Tempat pembantaian 1 juta orang saat Jerman menduduki Polandia.
Jangan bayangkan kereta super canggih. Kereta berpenghangat itu sangat lawas, hampir sama seperti KRL dari Jakarta menuju Serpong medio 2006 lalu.
Kala itu salju turun, langit kelabu, suasana sangat mendukung untuk berkabung. Saya berjalan menuju Auschwitz 2, lokasinya di Birkenau, tempat itu sangat muram.
Dari gerbang depan, beberapa kelompok pengunjung ditemani pemandu untuk menjelaskan seperti apa tempat itu sesungguhnya.
Tetapi, kami pilih untuk tetap bertiga tanpa pemandu, karena segala informasi bisa didapat di papan pengumuman yang ada di setiap bagunan.
Bangunan-bangunan kayu di sepanjang jalan kamp konsentrasi menampung orang-orang yang ditangkap oleh tentara Jerman.
Mereka dikurung di Birkenau, atau bisa disebut Auschwitz 2. Auschwitz 1 tidak jauh dari Birkenau, tempat dikurungnya tahanan politik, hampir 20 ribu orang di sana.
Di gerbang Auschwitz 1 terdapat tulisan: “Arbeit Macht Frei,” yang artinya bekerja membuatmu bebas. Saya hanya sempat melihat gerbang depan Auschwitz 1, karena terlalu banyak menghabiskan waktu di Auschwitz 2.
Karangan bunga, lentera, ada di sejumlah sudut Auschwitch 2, sebagai bentuk doa bagi jiwa-jiwa yang merana 70 tahun lalu. Rel kereta tua membelah kamp konsentrasi menjadi dua.
Di tengah cuaca yang begitu dingin, 70 tahun lalu, korban berjatuhan. Mereka ditangkap dalam keadaan apapun. Ibu hamil, anak-anak, bahkan yang sedang sakit.
Jerman, di bawah Hitler melakukan ekperimen terhadap bayi-bayi yang baru lahir, membunuh mereka. Menyuntikkan mata anak-anak, sampai menyuntikkan racun ke anak-anak kembar untuk tahu siapa yang mati lebih dahulu atau bahkan mati bersama.
Bagi yang sehat, dijadikan pekerja paksa tanpa ada imbalan, dan berujung sakit karena disiksa.
Makanan mereka sepotong roti dan sayur kubis untuk 1 pekan, wajar ketika foto-foto tentang para tahanan itu dipublikasikan terlihat sangat kurus.
Saya sempat bertanya, buat apa mereka dipekerjakan tanpa tujuan? Sejarah yang jaraknya ribuan kilometer dari tempat tinggal saya, dan hanya saya ketahui dari buku dan film kini ada di depan mata.
Bahkan kita masih ingat, beberapa tahun lalu sebuah rumah busana meluncurkan pakaian yang motifnya mirip dengan baju tahanan Nazi. Protes kala itu muncul, dan akhirnya pakaian itu ditarik dari peredaran.
Dunia menyebutnya sebagai genosida
Manusia dipaksa keluar dari rumahnya dibawa ke sebuah tempat tanpa tahu nasib selanjutnya.
Atas dasar perbedaan, mereka mati mengenaskan, jasasnya dibakar dan dikuburkan. Untuk menghilangkan bukti kejahatan perang.
Saya sedang (tidak) berwisata. Tempat ini sarat akan pesan kuat, bahwa extraordinary crime itu bukan dongeng. Ketika seorang maniak punya kuasa, jutaan orang bisa mati.
Saya bahkan sempat menangis, kaki gemetar, dan tak sanggup berdiri beberapa saat, bukan karena dinginnya, namun badan serasa lemas.
Bagi yang tidak sehat, terutama anak-anak dipisahkan dan dibawa menuju 'kamar mandi' yang ternyata adalah ruangan gas beracun.
Bayangkan, saya melangkah di jalan yang mereka tapaki menuju ruang gas beracun. Terdapat foto anak-anak yang jalan di sana pada 1940 lalu, menuju kematian mereka.
Adakah yang selamat?
Kekejaman itu berakhir pada 1945 kala tentara Soviet datang. Ribuan yang selama, kebanyakan berat badan di bawah rata-rata.
Bagi yang selamat, banyak pula yang menceritakan hidupnya semasa di kamp konsentrasi. Beberapa buku merangkum sejarah itu.
Bangunan itu tak ubahnya sebagai monumen sejarah dan pengingat, bahwa sejarah kelam yang menciderai hak asasi manusia tidak boleh terjadi lagi.
Apa yang harus dilakukan saat datang ke Auschwitz?
Karena kita tidak sedang melihat lawakan, semestinya tidak gaduh lalu tertawa. Iya saya tahu kebutuhan selfie kaum muda, pertimbangkanlah jika ingin selfie? Apakah pantas?
Saran saya, dengan kamu menginjakkan kaki di Auschwitz, itu saja sudah cukup.
Jika ingin ada pemandu, carilah pemandu, karena saya dan kedua rekan sudah riset sebelumnya, jadi kami putuskan tanpa pemandu agar lebih leluasa meresapi sejarah.
Sebuah negara yang suka dengan air mineral bersoda. Negara yang saat musim dingin begitu nikmat meminum sebotol vodka tanpa merasa mabuk ala orang-orang tropis seperti saya.
Mereka menyebut kopi dengan kawa, kopi terbaik yang bisa disajikan berasal dari Torino, Italia.
Negara yang masih mengandalkan batu bara untuk suplai energi, meski konfrensi PBB tentang perubahan iklim digelar di negara itu lebih dari sekali.
Saya tidak membahas tentang perubahan iklim kali ini.
Orang bilang, kita belum ke Polandia kalau belum ke Auschwitz, saya bersama dua rekan yang kebetulan ada di Polandia, Desember 2018 lalu memutuskan untuk mampir ke sana.
Ketika saya ke Auschwitz, saya baru sadar bahwa apa yang dibilang orang-orang itu benar. Bukan lantas memenuhi bucket list travel, dan dengan bangganya mengumumkan di sosial media.
Sebuah sejarah kelam yang saya tahu lewat sepenggal sejarah Eropa di buku ensiklopedia.
Dari Katowice, kereta membawa saya menuju Auschwitz-Birkenau, bagian selatan Polandia. Tempat pembantaian 1 juta orang saat Jerman menduduki Polandia.
Jangan bayangkan kereta super canggih. Kereta berpenghangat itu sangat lawas, hampir sama seperti KRL dari Jakarta menuju Serpong medio 2006 lalu.
Kala itu salju turun, langit kelabu, suasana sangat mendukung untuk berkabung. Saya berjalan menuju Auschwitz 2, lokasinya di Birkenau, tempat itu sangat muram.
Dari gerbang depan, beberapa kelompok pengunjung ditemani pemandu untuk menjelaskan seperti apa tempat itu sesungguhnya.
Tetapi, kami pilih untuk tetap bertiga tanpa pemandu, karena segala informasi bisa didapat di papan pengumuman yang ada di setiap bagunan.
Bangunan-bangunan kayu di sepanjang jalan kamp konsentrasi menampung orang-orang yang ditangkap oleh tentara Jerman.
Mereka dikurung di Birkenau, atau bisa disebut Auschwitz 2. Auschwitz 1 tidak jauh dari Birkenau, tempat dikurungnya tahanan politik, hampir 20 ribu orang di sana.
Di gerbang Auschwitz 1 terdapat tulisan: “Arbeit Macht Frei,” yang artinya bekerja membuatmu bebas. Saya hanya sempat melihat gerbang depan Auschwitz 1, karena terlalu banyak menghabiskan waktu di Auschwitz 2.
Karangan bunga, lentera, ada di sejumlah sudut Auschwitch 2, sebagai bentuk doa bagi jiwa-jiwa yang merana 70 tahun lalu. Rel kereta tua membelah kamp konsentrasi menjadi dua.
Di tengah cuaca yang begitu dingin, 70 tahun lalu, korban berjatuhan. Mereka ditangkap dalam keadaan apapun. Ibu hamil, anak-anak, bahkan yang sedang sakit.
Jerman, di bawah Hitler melakukan ekperimen terhadap bayi-bayi yang baru lahir, membunuh mereka. Menyuntikkan mata anak-anak, sampai menyuntikkan racun ke anak-anak kembar untuk tahu siapa yang mati lebih dahulu atau bahkan mati bersama.
Bagi yang sehat, dijadikan pekerja paksa tanpa ada imbalan, dan berujung sakit karena disiksa.
Makanan mereka sepotong roti dan sayur kubis untuk 1 pekan, wajar ketika foto-foto tentang para tahanan itu dipublikasikan terlihat sangat kurus.
Saya sempat bertanya, buat apa mereka dipekerjakan tanpa tujuan? Sejarah yang jaraknya ribuan kilometer dari tempat tinggal saya, dan hanya saya ketahui dari buku dan film kini ada di depan mata.
Bahkan kita masih ingat, beberapa tahun lalu sebuah rumah busana meluncurkan pakaian yang motifnya mirip dengan baju tahanan Nazi. Protes kala itu muncul, dan akhirnya pakaian itu ditarik dari peredaran.
Dunia menyebutnya sebagai genosida
Manusia dipaksa keluar dari rumahnya dibawa ke sebuah tempat tanpa tahu nasib selanjutnya.
Atas dasar perbedaan, mereka mati mengenaskan, jasasnya dibakar dan dikuburkan. Untuk menghilangkan bukti kejahatan perang.
Saya sedang (tidak) berwisata. Tempat ini sarat akan pesan kuat, bahwa extraordinary crime itu bukan dongeng. Ketika seorang maniak punya kuasa, jutaan orang bisa mati.
Saya bahkan sempat menangis, kaki gemetar, dan tak sanggup berdiri beberapa saat, bukan karena dinginnya, namun badan serasa lemas.
Bagi yang tidak sehat, terutama anak-anak dipisahkan dan dibawa menuju 'kamar mandi' yang ternyata adalah ruangan gas beracun.
Bayangkan, saya melangkah di jalan yang mereka tapaki menuju ruang gas beracun. Terdapat foto anak-anak yang jalan di sana pada 1940 lalu, menuju kematian mereka.
Adakah yang selamat?
Kekejaman itu berakhir pada 1945 kala tentara Soviet datang. Ribuan yang selama, kebanyakan berat badan di bawah rata-rata.
Bagi yang selamat, banyak pula yang menceritakan hidupnya semasa di kamp konsentrasi. Beberapa buku merangkum sejarah itu.
Bangunan itu tak ubahnya sebagai monumen sejarah dan pengingat, bahwa sejarah kelam yang menciderai hak asasi manusia tidak boleh terjadi lagi.
Apa yang harus dilakukan saat datang ke Auschwitz?
Karena kita tidak sedang melihat lawakan, semestinya tidak gaduh lalu tertawa. Iya saya tahu kebutuhan selfie kaum muda, pertimbangkanlah jika ingin selfie? Apakah pantas?
Saran saya, dengan kamu menginjakkan kaki di Auschwitz, itu saja sudah cukup.
Jika ingin ada pemandu, carilah pemandu, karena saya dan kedua rekan sudah riset sebelumnya, jadi kami putuskan tanpa pemandu agar lebih leluasa meresapi sejarah.
Comments
Post a Comment