Oh, toxic society, you're legit to preach.
Oh, anxiety, who I am to be.
Dua hal itu dan beberapa masalah yang mengganjal di dalam pikiran bisa jadi the first world problem: city people problem.
Jadi saya ambil libur seminggu penuh menghindar dari kota dan pergi menyendiri.
Buat apa? menekan ego yang teramat tinggi di tengah semua kegilaan ini.
Berawal dari Google maps dan sedikit menjelajah media sosial. Saya temukan tempat yang begitu sempurna untuk menyendiri.
Desa Argosari di Lumajang. Dari sana, saya putuskan untuk membangun tenda di puncak B30.
Sendiri.
Dari bandara, taksi, terminal, angkutan kota, bus dan terakhir ojek, semua bertanya: "Sendirian naik gunungnya?"
"Iya, lebih enak, nggak berisik," sebisa mungkin saya jawab. Jadi mereka juga bisa beralasan untuk menyudahi pertanyaan lanjutan.
Malam itu saya menginap dahulu di Wahyu Homestay, Desa Argosari, agar besoknya punya tenaga buat naik ke B30. Saya pilih hari yang sepi, agar tidak ada manusia lain kecuali saya di puncak itu.
Tidak ada masalah saat membangun tenda, kecuali saya benar-benar sadar jika saya sendirian. Tidak ada tenda lainnya. Tidak ada orang lain. Tidak ada teman yang bisa diajak bicara kecuali sinyal melimpah di dalam ponsel.
Diam sejenak dan pikiran liarpun menyeruak. Kecemasan orang kota yang mengada-ada.
I've trained for this, to survive in the most extreme place. So why I worried so much?
It just munchies.
I set my chair in perfect place to have my cup of coffee, read Harari's Homo Deus and see the whole 'naked' picture in front of me. The caldera from other side.
Waiting for sunset moment and listened Ordinary life of Coldplay.
Semacam ritual yang bekerja penuh untuk menyembuhkan patah hati. Saya pikir momen matahari terbenam adalah puncaknya.
Ternyata tidak. Hari tak kunjung gelap, udara masih hangat. saya siapkan peralatan untuk 'menangkap' bintang.
Ketika langit mulai gelap, saya kembali sadar bahwa saya satu-satunya manusia di bukit itu. Terasa seperti berada di private resort mahal.
Angin dingin dari kaldera mulai menyapa, lampu-lampu rumah mulai berpijar di bawah sana.
Di atas, benda luar angkasa yang tak terhitung jumlahnya mencoba menenangkan saya malam itu.
Saya tiba-tiba tersenyum puas. Kenapa semua yang saya lihat ini bisa sangat indah?
Kenapa semua ini bisa sangat menghibur?
Saya bicara kepada kesunyian, betapa beruntungnya diri ini, lalu mengungkapkan segala kecemasan yang mengganjal.
Menarik napas dalam-dalam lalu bersiap tidur untuk bangun dini hari, memotret bintang. Cahaya oranye ketika matahari terbenam, digantikan dengan bias keunguan lalu gelap. Rasanya semua emosi pergi. Semua 'plong'. Tidak ada yang perlu dirisaukan.
Saya pikir, kala itu adalah puncak dari 'momen pergi sembuhkan patah hati' ternyata bukan.
Malam itu saya tidak bisa tidur. Kaki yang terbungkus sepatu masih terasa dingin.
Setiap sudut tenda terasa dingin. Akhirnya saya putuskan keluar, berkeliling melewati pohon-pohon kerdil yang sejak tadi tergesek angin.
Setidaknya tubuh ini bisa bergerak menghangatkan diri.
Namun, saat kembali ke tenda dan mulai tidur, rasa dingin itu mulai menusuk. Saya keluar dari tenda, memanaskan kompor, lalu membuat kopi.
Kemudian kembali ke tenda. pikiran ini membisiki "Bangunlah, terjagalah, badanmu sedang tak mampu menahan dingin," badan ini pun mengikuti arahan si pikiran yang tak henti-hentinya membuat diri saya dalam mode terjaga.
Kilatan petir di ujung sana terbias dari tenda. Sesekali saya lihat ke luar, memastikan tidak ada awan tebal di atas kepala saya.
Mungkin jika hujan, yang bisa saya lakukan adalah menyesali perjalanan itu dan berharap matahari cepat datang, tapi akhirnya, saya hanya bisa pasrah, meminta hujan sedikit menjauh dari tempat saya membangun tenda.
Karena angin dari kaldera menggoyang tenda teramat kuat. Karena suara-suara alam di luar tenda begitu syahdu, mengapa tidak keluar lagi untuk menikmatinya?
Ketika membuka tenda, pukul 03.00, langit berubah. Gelap kemudian ungu, semburat oranye mulai muncul dari balik bukit perlahan-lahan.
Saya menantikan momen matahari terbit di atas kursi lipat, sedikit kedinginan.
Lalu, matahari tak terasa menyinari kaldera itu.
Tepat sebulan solo hiking berlalu, I feel content.
Sekarang, setiap bangun pagi, punya alasan kuat, kenapa harus cemas kalau bisa puas? kenapa harus sedih kalau bisa bahagia?
Selanjutnya, saya akan ceritakan apa yang terjadi ketika sudah turun bukit, ada desa Argosari dan Tumpak Sewu sebagai anti-klimaks perjalanan ini. And that was perfect.
Comments
Post a Comment