Pembicaraan antara manusia tak tahu diri dan Matahari.
Manusia tak tahu diri:
Kami saling berpandang dan menikmati momentum sekelebat.
Neuron menerima sinyal di otak, mencoba menyimpulkan bahwa semburat tipis itu adalah hal terindah dalam hidupku.
Aku kagum dengannya, dengan cara dia melihat Bumi dari kejauhan.
Dengan begitu dia tidak menyiksa, toh dia hanya memberi sepercik hangatnya.
Dia boleh saja menjadi milik semua orang, tetapi apakah dengan begitu aku bisa memilikinya juga?
Tanpa sinarnya, tumbuh jamur di cangkir bekas kopi yang sudah ditinggalkan seminggu.
Tahukah apa yang paling menyiksa? Tidak bisa tidur dan menanti kehadiran dirimu secepatnya. Agar aku bisa mencuci cangkir bekas kopi yang berjamur itu dan menyambutmu. Namun, sepertinya aku, bagimu, adalah jamur busuk yang tak pantas mendapat sinarmu.
Apakah tidak pernah sedikitpun kau mengagumi diriku? Bahwa tanpa sinarmu, aku bisa bertumbuh.
Tanpa keberadaanmu aku bisa menghentakkan listrik di antara neuron di dalam kepalaku dan mulai memimpikanmu meraba Bumi esok harinya.
Tapi kau memaksa untuk terus terbenam setiap kali aku mulai menikmati dirimu.
Atau kau takut akan ketidakberdayaan dirimu melihat aku yang ternyata bisa menantangmu?
Mengapa kau berpasrah kepada Bumi yang sudah pasti mengitarimu? Mengapa kau datang dan menghilang setiap hari?
Berkali-kali aku memberikan petunjuk agar kau memilihku, membagi jilatan api di bola berpijar yang jaraknya hanya sejengkal semesta dari Bumi.
Atau kau takut tidak dapat lagi bertemu sebelum terbenam?
Matahari:
Aku akan datang menemuimu, memanglah aku berserah dengan rotasi Bumi, aku tahu dia mengitariku, apa yang kau inginkan?
Aku hanya ingin berjumpa pada saat yang tepat, supaya aku bisa melihat dirimu dari miliaran pasang mata yang tak henti-hentinya mengeluh bahwa diriku lah penyebab semua kekacauan di Bumi. Padahal mereka sendiri yang berulah.
Tahukah kau, semua bertumbuh karena apa yang kubagi? Termasuk dirimu.
Aku kagum kepadamu, insan yang selalu datang saat bumi yang kau pijak itu mulai membelakangiku.
Aku kagum sampai tak berani benar-benar melihatmu. Aku hanya takut ada kiamat di antara kita. Ketika semua itu terjadi, maka momentum yang selalu kau tunggu itu, mungkin tidak akan pernah terjadi lagi.
Nikmatilah pertemuan kita, meski aku tidak bisa menyentuhmu, bukan berarti aku tidak bisa melihatmu. Sejengkal semesta bagiku sudah cukup adil, agar semburat jingga yang selalu kau dambakan, bisa selalu kau abadikan di dalam benakmu.
Pahit rasanya harus berbagi dengan Bulan. Aku bisa menggerusnya dengan mudah jika saja aku punya kuasa lebih dekat lagi dengan dirimu.
Kau pasti tahu jika itu terjadi, bukan dirimu saja yang hancur. Mungkin kejadian itu bak gigitan semut di Galaksi Bima Sakti, tapi bagi kita, itu akan jadi masalah serius. Jadi sebaiknya, aku harus menerima keadaan ini.
Manusia tak tahu diri:
Bisakah kau terus berwarna senja? Atau setidaknya kita punya waktu lebih lama untuk berjumpa?
Matahari:
Jika saja bisa kulakukan. Aku membuat seisi Bumi bertumbuh, apakah itu kurang bagimu?
Atau kau benar-benar ingin tahu bagaimana nasib Neptunus yang sulit sekali ku tembus? Mungkin saja kau tidak tahu panasnya Merkurius dan Venus ketika aku terlalu dekat dengan mereka.
Manusia tak tahu diri:
Ya mungkin dalam dunia paralel, aku adalah Neptunus itu, jauh dari jangkauanmu, lebih baik begitu bukan? Daripada aku, makhluk Bumi yang kau buat hampir gila dengan segala hukum alam ini.
Matahari:
Tolonglah, aku tidak ingin kau menjadi Neptunus. Aku tidak bisa menjanjikan apa-apa selain semburat jingga yang mungkin biasnya bisa berbeda setiap hari. Aku bisa membuat berbagai macam variasi. Spektrum warna yang kusuguhkan masih kurang kah?
Manusia tak tahu diri:
Iya, andai saja kau manusia. Mungkin kita bisa duduk bersama.
Matahari:
Mungkin, kita bisa bersama dalam kehidupan selanjutnya. Atau di ruang mimpimu yang selalu bisa menentang hukum alam.
Manusia tak tahu diri:
Semoga.
Comments
Post a Comment