Skip to main content

What’s your purpose of life?

We just a micron sized of dust in this universe, our existence is only a blink in a history of Earth creation and our life is a next stop for million stops of  human civilization.


Jika bisa memetik sedikit dari pemikiran para absurdist, yang memang tujuan hidup manusia adalah absurd mengejar sesuatu atas dasar apa yang ia rasakan, roman-romannya penting juga bahwa jalan hidup manusia itu absurd banget.


So what is your purpose of life? To die? Or to have your own role in this-you never know how big is your universe-?


Lho kok tanya saya, ya mana saya tahu? My thought, tapi begini, saya nggak pernah tahu apa yang jiwa dan badan ini inginkan, hanya saja kebutuhan keduanya kadang saling berlawanan. Apa istilahnya kalau bukan absurd. 


Ada pula yang bilang absurd is a thing when you have nothing in a society. You didn’t obey your society and you think it’s the best way to avoiding conflict in your mind: Happy but society seems didn’t see as happiness or vice versa. 


Bullshit. Life in absurd way not always end up in suicidal case. Absurd can be more deeper for my purpose of life. 


What is your purpose life? To be useful tools for myself. 


And that’s beyond absurdism. 


So what is your purpose of life?


There’s a movement and there’s a time, keduanya butuh ruang dan gaya. Jadi ketika ditanya tujuan hidup lagi, I think our purpose of life is reach the momentum. 


It’s not how you can be perfect in society. It’s not how they see me better than them, but the momentum when your movement precisely working together with the force that moves you to other part of time that creates momentum for you to think based on your act. The momentum you consider as a chance, possibility before the force take part on how you capable to move in sentimental way. 


So, yeah momentum is our best thing in our life, influence every body parts and working together until the end of our duty to fill a role in this tiny world. 

Bottoms up for three bottle of beers when I wrote down this. Am feeling old. 


Comments

Popular posts from this blog

Jalan Raya Tertinggi di Indonesia 3600 MDPL (1)

Dua tahun lalu, pergi ke Papua itu sangat mahal, bahkan lebih mahal ketimbang berlibur ke Jepang. Kalau bukan karena penugasan dari rapat redaksional, saya tak mungkin bisa ke sana. Saat itu saya mengejar cerita tentang kematian misterius puluhan anak di Distrik Mbua, Kabupaten Nduga. Saya masih ingat, penerbangan dari Jakarta, transit dahulu di Makassar, berlanjut menuju Manokwari, kemudian Jayapura, dan akhirnya tiba di Wamena. Bandaranya kala itu masih tradisional. Saya gambarkan seperti terminal bus era 90an. Tapi sekarang bandara yang baru sudah dibuka, setaraf dengan bandara-bandara di tempat saya dan tim, transit sebelum sampai Wamena. Pak Nico, driver kami menjemput dengan mobil yang memiliki spesifikasi tangguh di medan pegunungan. Kami mengisi bahan bakar dahulu. 20 liter bensin, seharga 2 juta rupiah. Saya dan kedua rekan langsung terkejut. Pegunungan di sekeliling menyembul, pamer keindahan. Saya tanyakan kepadanya, apakah dia bahagia tinggal d...

At the end of pandemic? A moment of new fresh air?

Ada di pertengahan film menuju klimaks atau ketika akhir di sebuah cerita ketika si tokoh utama memulai babak baru hidupnya. Dia berjalan dengan sangat meyakinkan meski tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.  Karena itu film dan dengan sengaja saya sering mencari momen new fresh air itu. Movies I watched did a great job to manipulate my inner child to find my own new fresh air moment. I did it everytime I have new project and finished, again and again, it was like a pattern of my work cycle.  A bit new fresh air isn't? Ketika Presiden Jokowi mengumumkan bahwa PPKM sudah dicabut, seharusnya menjadi momen 'a new fresh air' tapi bagi saya kok terasa hampa. Ada perasaan aneh ketika mengingat betapa pahit dan sekaligus manis kehidupan yang saya alami pada 2020 lalu.  Sepulang dari Taiwan pada Februari 2020 lalu, saya baru memahami bahwa pandemi global ini adalah kenyataan yang saya harus terima. Penyakit misterius yang belum ada obatnya dan seketika dunia menjadi sepi....

New York dan realita

Suatu hari saya pernah gagal melanjutkan sekolah di Universitas di New York, sudah kepalang tanggung resign dari tempat kerja. Terdampar ketika musim dingin dan kembali tertampar di realita Jakarta.  Bebeapa mungkin ada yang mencibir, tetapi saya pikir konsekuensi logis karena sudah woro-woro sekolah dan ternyata kembali tanpa gelar karena perkara funding.   Saya punya semacam “Hollywood dream” tentang New York, dicekoki semenjak film Home Alone dan sederet film lainnya yang menyuguhkan sisi gemerlap New York.  Atau buku-buku tentang New York dan meromantisasi kemegahan kota itu.  Itulah saya 10 tahun lalu. Anak muda yang mabuk cinta dengan kota yang digambarkan film-film. Belum berpikir bayar sewa tempat tinggal, makan sehari-hari dan apa yang akan saya lakukan selain jalan-jalan di Time Square dengan panoramic view lalu lari pagi di Central Park?  Saya berpikir begini: “Pokoknya saya harus bisa menetap di sana ketika usia 30an.” Dan lihatlah saya masih di Jaka...