Jadi pilhannya begini, mau seduhan kopi robusta, atau dengan gula?
Dan saya selalu memesan kopi pahit tanpa gula di perhentian dalam perjalanan lintas Sumatera. Bukan karena kafeinnya, tapi pahitnya kopi begitu menyegarkan tenggorokan. Semacam mengembalikan mood ke titik netral di tengah tantrum bosan di jalan. Di tengah energi yang tak tersalurkan akibat terlalu banyak makan gula.
Separuh bagian Sumatera yang saya singgahi lekat dengan kebudayaan Melayu, kopinya pun terpengaruh gaya Kopi O yang seringnya menggunakan kopi robusta untuk disajikan.
Namun, ketika sudah menjauh dari kota, apalagi kalau bukan kopi sasetan yang terimakasih Tuhan masih ada varian tanpa gulanya.
Perhentian selanjutnya adalah tempat rehat di jalan tol, ketika satu mini market menyediakan americano dingin dengan biji kopi arabica seharga 50% lebih murah dari sbux tapi rasanya boleh diadu, jauh lebih enak.
Balik lagi ke robusta yang sangat meletup itu, ternyata kau sungguh rupawan, selama ini aku melupakanmu, kadang keadaan membuat kau tidak pernah mendapat perhatian.
Padahal, 10 tahun lalu saya pernah dibuatnya mual. Tapi entah kenapa sekarang malah jadi ketagihan.
Dan ketika di atas kapal penyeberangan, tidak ada pilihan lain, saya harus membongkar tas, seingat saya, masih ada kopi sasetan yang menjadi penyelamat jika semua pilihan kopi tertuku kepada kopi dengan gula. Saya cuma beli air panas untu menyeduh kopi itu dan sisanya biarlah saya terlarut dalam setiap tegukan robusta.
Comments
Post a Comment