Skip to main content

Kejar-kejaran hidup dan mati



Bagaimana jika setelah kematian tidak ada alam lain?


Yang ada hanya kehampaan. Kita hilang begitu saja tanpa ada kesadaran, termakan gelap dan kehampaan. 


Bagaimana jika tidak ada surga dan neraka?

Tidak ada jalan lainnya setelah kematian, eksistensi kita yang dibangun dengan kesadaran penuh ya sudah lenyap begitu saja.


Ada suatu waktu ketika bermimpi yang membuat bulu kuduk merinding, sampai terbangun, keringat mengucur deras. Di dalam mimpi itu saya merasa kecil sekali, di antara kehampaan ruang, mempertanyakan siapa saya, berulang-ulang. Saya entitas nihil di sebuah dimensi tanpa batas ruang dan waktu. 


Dalam mode terjaga itulah saya akhirnya berpikir. Bagaimana jika setiap hari kita sebenarnya sudah mati? Dan bangun kembali menjadi sosok yang baru pada hari berikutnya.


Atau…


Bagaimana jika diri kita yang kemarin sejatinya adalah entitas yang berbeda dengan diri kita saat ini?


Setiap hari kita mati dan bangun lagi, atau setiap hari kita mereplikasi diri hingga mungkin menjadi 20 ribuan entitas yang berbeda sebelum kita menemukan kehampaan abadi? 


Mengapa orang begitu takut dengan kematian? Dengan beragam keyakinan yang kita miliki, selalu ada alam lain tempat kita beranjak dari dunia ini. 


Baik buruk kehidupan yang kita jalani akan mempengaruhi kehidupan kita nanti di alam lain. 


Jadi menakutkan apabila kita manusia yang masih memiliki kesadaran ini berada di dalam liang lahat atau kamar kremasi. Tentu berbeda situasinya jika sudah tidak memiliki kesadaran, sudah tidak berdetak lagi jantungnya. 


Jadi menakutkan apabila membayangkan tidak ada cara ‘cheat’ mengelak dari siksaan atas perbuatan buruk kita di dunia jika sudah mati nanti. 


Hidup juga terikat dengan kematian, tapi bukan berarti ketika hidup harus terus-menerus memikirkan kematian.  Jadi terkekang akan kematian, jadi terpenjara menanti hukuman saat kesdaran kita sebagai manusia berdaging ini lenyap. 


Jadi, kekangan itu mungkin bisa lepas jika saya bisa memaknai kehidupan. Bukan berarti ingin mencari pahala sebanyak-banyaknya di dunia ini. 


Bukan juga berderma sampai tak punya apa-apa.


Hidup mungkin akan berarti jika saya bisa lebih pasrah.


Pasrah untuk berbahagia.

Comments

Popular posts from this blog

Jalan Raya Tertinggi di Indonesia 3600 MDPL (1)

Dua tahun lalu, pergi ke Papua itu sangat mahal, bahkan lebih mahal ketimbang berlibur ke Jepang. Kalau bukan karena penugasan dari rapat redaksional, saya tak mungkin bisa ke sana. Saat itu saya mengejar cerita tentang kematian misterius puluhan anak di Distrik Mbua, Kabupaten Nduga. Saya masih ingat, penerbangan dari Jakarta, transit dahulu di Makassar, berlanjut menuju Manokwari, kemudian Jayapura, dan akhirnya tiba di Wamena. Bandaranya kala itu masih tradisional. Saya gambarkan seperti terminal bus era 90an. Tapi sekarang bandara yang baru sudah dibuka, setaraf dengan bandara-bandara di tempat saya dan tim, transit sebelum sampai Wamena. Pak Nico, driver kami menjemput dengan mobil yang memiliki spesifikasi tangguh di medan pegunungan. Kami mengisi bahan bakar dahulu. 20 liter bensin, seharga 2 juta rupiah. Saya dan kedua rekan langsung terkejut. Pegunungan di sekeliling menyembul, pamer keindahan. Saya tanyakan kepadanya, apakah dia bahagia tinggal d...

At the end of pandemic? A moment of new fresh air?

Ada di pertengahan film menuju klimaks atau ketika akhir di sebuah cerita ketika si tokoh utama memulai babak baru hidupnya. Dia berjalan dengan sangat meyakinkan meski tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.  Karena itu film dan dengan sengaja saya sering mencari momen new fresh air itu. Movies I watched did a great job to manipulate my inner child to find my own new fresh air moment. I did it everytime I have new project and finished, again and again, it was like a pattern of my work cycle.  A bit new fresh air isn't? Ketika Presiden Jokowi mengumumkan bahwa PPKM sudah dicabut, seharusnya menjadi momen 'a new fresh air' tapi bagi saya kok terasa hampa. Ada perasaan aneh ketika mengingat betapa pahit dan sekaligus manis kehidupan yang saya alami pada 2020 lalu.  Sepulang dari Taiwan pada Februari 2020 lalu, saya baru memahami bahwa pandemi global ini adalah kenyataan yang saya harus terima. Penyakit misterius yang belum ada obatnya dan seketika dunia menjadi sepi....

New York dan realita

Suatu hari saya pernah gagal melanjutkan sekolah di Universitas di New York, sudah kepalang tanggung resign dari tempat kerja. Terdampar ketika musim dingin dan kembali tertampar di realita Jakarta.  Bebeapa mungkin ada yang mencibir, tetapi saya pikir konsekuensi logis karena sudah woro-woro sekolah dan ternyata kembali tanpa gelar karena perkara funding.   Saya punya semacam “Hollywood dream” tentang New York, dicekoki semenjak film Home Alone dan sederet film lainnya yang menyuguhkan sisi gemerlap New York.  Atau buku-buku tentang New York dan meromantisasi kemegahan kota itu.  Itulah saya 10 tahun lalu. Anak muda yang mabuk cinta dengan kota yang digambarkan film-film. Belum berpikir bayar sewa tempat tinggal, makan sehari-hari dan apa yang akan saya lakukan selain jalan-jalan di Time Square dengan panoramic view lalu lari pagi di Central Park?  Saya berpikir begini: “Pokoknya saya harus bisa menetap di sana ketika usia 30an.” Dan lihatlah saya masih di Jaka...