Skip to main content

Ternak manusia

 




Dalam perjalanan dan masih di kereta, kembali membaca Animal Farm dan rasanya sama, emosional terhadap Napoleon, kadang merasa kasihan dengan Snowball, tapi lebih kasihan lagi dengan Boxer. 


Napoleon dan Snowball yang anti manusia bisa-bisanya berlagak bak manusia, inkonsistensi perilaku mereka tertuang dalam banyak babak. 


Sebagai catatan, mungkin satire dalam Animal Farm meski dikemas ala distopia, bisa jadi sepercik latar belakang invasi Rusia ke Ukraina. Antara romantisasi masa lalu atau mungkin mengulang sejarah hidup manusia yang penuh intrik, itu semua soal kuat atau tidak kuat berpolitik. 


Kompleksitas Uni Soviet digambarkan lewat karakter hewan dalam 10 babak sederhana dan semua orang yang membacanya pasti langsung bisa berimajinasi.


Terpenting, buku yang ditulis George Orwell sebagai bentuk satire atas totaliterisme Uni Soviet pada masa Perang Dunia II, rasa-kalau dipikir merefleksikan polah manusia dan kuasanya dari zaman ke zaman hingga kini. Dan mungkin kita bisa bilang, Orwell bener juga nih, ketika merujuk pada suatu peristiwa.


Satirenya pak Eric Arthur Blair ini padahal ditunjukkan untuk suatu peristiwa yang spesifik pada masa Stalin dan ternyata dilakukan banyak babi, eh manusia, dari zaman ke zaman, sampai sekarang.


Rasa-rasanya, kalimat ini: “Makhluk-makhluk di luar memandang dari babi ke manusia, dan dari manusia ke babi lagi, tetapi mustahil mengatakan yang satu dan mana yang lain.” yang dimaksud dalam penutup buku itu sama persis, dengan-yang-mungkin menurut pandangan saya serupa. 


Ada film animasi Animal Farm yang diproduksi 1954 di Inggris, film karya Halas & Batchelor, deskripsi akhir cerita buku itu sama persis dengan imajinasi saya ketika pertama, kedua, ketiga dan seterusnya membaca Animal Farm kecuali di bagian kok semuanya jadi babi, mungkin hampir-hampir serupa dengan yang Hallmarks buat tahun 90an. 


Manusia mengulang kebinatangannya dari masa ke masa, mencari kebebasan semu hanya untuk merebut kuasa. Memerintah, membunuh, agar bisa terus hidup senang. 


Ya bayangin, Boxer yang anfal karena terlalu memaksakan bekerja membangun kincir angin, dijual kok sama Napoleon ke rumah jagal kuda. 


Lalu datanglah miras ke para penguasa babi itu tak lama setelah Boxer mati. 


Padahal Boxer itu si paling kerja keras. 


Seperti yang tercermin dalam benak Benyamin, mungkin saja, sebelum peristiwa pemberontakan di Animal Farm, dia sudah menyaksikan hal serupa ketika Major menyampaikan visinya sebelum mati. 


Benjamin si keledai juga yang menutup cerita ini bersamaan dengan Clover si kuda yang menua. 


But the best and bold moment was the cat. I might be the cat in human form of life. 


Yang saya suka dari Animal Farm ini sebenarnya simple, sedari awal baca sekira 10 tahun lalu, saya paling suka menebak siapa represent siapa. Misal Squiler si babi yang direpresentasikan sebagai media propaganda Uni Soviet kala itu. 


Atau si Napolen yang tidak lain adalah Stalin, beberapa karakter manusia, contohnya pak Jones adalah simbol dari Nicholas II tsar terakhirnya Rusia, sementara Leon Trotsky digambarkan sebagai Snowball. 


Apa yang terjadi dengan Stalin dan Trotsky juga akhirnya terjadi di tempat lain dalam waktu yang berbeda. 


Oh iya, Marx ya siapa lagi kalo bukan Major. Dan semisal para ayam betina yang memberontak karena harus bertelur ratusan butir, diibaratkan sebagai Ukraina yang diperah, karena tanahnya subur dan itu sudah hampir seabad lalu kejadiannya lalu ditulis satirenya yang terbit tahun 1945. Maka itu menyoal invasi Rusia 2022 ini, pikiranku langsung berkelana menuju bukunya pak Orwell ini. 



Comments

Popular posts from this blog

Jalan Raya Tertinggi di Indonesia 3600 MDPL (1)

Dua tahun lalu, pergi ke Papua itu sangat mahal, bahkan lebih mahal ketimbang berlibur ke Jepang. Kalau bukan karena penugasan dari rapat redaksional, saya tak mungkin bisa ke sana. Saat itu saya mengejar cerita tentang kematian misterius puluhan anak di Distrik Mbua, Kabupaten Nduga. Saya masih ingat, penerbangan dari Jakarta, transit dahulu di Makassar, berlanjut menuju Manokwari, kemudian Jayapura, dan akhirnya tiba di Wamena. Bandaranya kala itu masih tradisional. Saya gambarkan seperti terminal bus era 90an. Tapi sekarang bandara yang baru sudah dibuka, setaraf dengan bandara-bandara di tempat saya dan tim, transit sebelum sampai Wamena. Pak Nico, driver kami menjemput dengan mobil yang memiliki spesifikasi tangguh di medan pegunungan. Kami mengisi bahan bakar dahulu. 20 liter bensin, seharga 2 juta rupiah. Saya dan kedua rekan langsung terkejut. Pegunungan di sekeliling menyembul, pamer keindahan. Saya tanyakan kepadanya, apakah dia bahagia tinggal d...

At the end of pandemic? A moment of new fresh air?

Ada di pertengahan film menuju klimaks atau ketika akhir di sebuah cerita ketika si tokoh utama memulai babak baru hidupnya. Dia berjalan dengan sangat meyakinkan meski tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.  Karena itu film dan dengan sengaja saya sering mencari momen new fresh air itu. Movies I watched did a great job to manipulate my inner child to find my own new fresh air moment. I did it everytime I have new project and finished, again and again, it was like a pattern of my work cycle.  A bit new fresh air isn't? Ketika Presiden Jokowi mengumumkan bahwa PPKM sudah dicabut, seharusnya menjadi momen 'a new fresh air' tapi bagi saya kok terasa hampa. Ada perasaan aneh ketika mengingat betapa pahit dan sekaligus manis kehidupan yang saya alami pada 2020 lalu.  Sepulang dari Taiwan pada Februari 2020 lalu, saya baru memahami bahwa pandemi global ini adalah kenyataan yang saya harus terima. Penyakit misterius yang belum ada obatnya dan seketika dunia menjadi sepi....

New York dan realita

Suatu hari saya pernah gagal melanjutkan sekolah di Universitas di New York, sudah kepalang tanggung resign dari tempat kerja. Terdampar ketika musim dingin dan kembali tertampar di realita Jakarta.  Bebeapa mungkin ada yang mencibir, tetapi saya pikir konsekuensi logis karena sudah woro-woro sekolah dan ternyata kembali tanpa gelar karena perkara funding.   Saya punya semacam “Hollywood dream” tentang New York, dicekoki semenjak film Home Alone dan sederet film lainnya yang menyuguhkan sisi gemerlap New York.  Atau buku-buku tentang New York dan meromantisasi kemegahan kota itu.  Itulah saya 10 tahun lalu. Anak muda yang mabuk cinta dengan kota yang digambarkan film-film. Belum berpikir bayar sewa tempat tinggal, makan sehari-hari dan apa yang akan saya lakukan selain jalan-jalan di Time Square dengan panoramic view lalu lari pagi di Central Park?  Saya berpikir begini: “Pokoknya saya harus bisa menetap di sana ketika usia 30an.” Dan lihatlah saya masih di Jaka...