Saya berpikir hidup seseorang itu perkara kemarin, sekarang dan besok.
Selalu begitu.
Tiga penanda waktu yang dipisahkan rotasi Bumi. Atau mungkin…ditandai dengan tidurnya seseorang. Berulang hingga titik jenuh seseorang dalam berbagai perkara kehidupan.
Dan dari pengulangan itu, saya menjadi orang yang benar-benar baru ketika terbagun dari tidur.
Momen bangun tidur pada 2022 jika dibandingkan dengan 2008 lalu jelas berbeda.
Kapal yang sama dengan rute yang sama tetapi penumpangnya berbeda.
Dan jika saya yang terbangun pada 2008 lalu berbicara dengan saya yang terbangun pada 2022, yang kemudian saya pertemukan, bertumbukan di kepala, dia akan bilang “You’re someone I want, you did a great job, you’ve walked in the right path.”
Dan mungkin saya yang terbangun pada 2022 akan bilang, “Saya tidak menyangka bisa seperti ini.”
Lalu di belakang muncul saya yang terbangun versi tahun-tahun sebelumnya. Bersorak, merayakan apa yang telah saya lalui selama ini.
Mungkin sebagian tidak suka, karena apa yang mereka inginkan berbeda. Salah satunya berkata “Lihatlah buku catatanmu tahun-tahun sebelumnya, apakah daftar itu sudah kau penuhi?”
Versi lainnya membela saya, “Persetan dengan daftar tujuan hidup, trek roller coastermu sudah teramat rumit, dan kau melewatinya dengan santai, itu saja sudah menggembirakan.”
Begitu banyak daftar dalam hidup yang harus saya capai, tanpa ada strategi dan perencanaan, seorang pengkhayal ulung yang mencoba menggertak dunia dengan sebuah keberuntungan.
Keberuntungan itu bisa jadi adalah setiap kegagalan yang saya alami dalam hidup. Sebagian versi itu menganggap menyusun puzzle kehidupan harus dimulai dengan memilah warna, sehingga puzzle lebih mudah disusun, sebagian lagi melihat kepingan mana yang memungkinkan untuk disusun terlebih dahulu.
Dan, tidak terasa semua versi diri saya yang terbangun beberapa tahun lalu bersorak. Menyemangati, “Bukankah daftar itu sudah kau penuhi satu-persatu dalam bentuk lainnya?”
Karena apa yang saya inginkan belum tentu yang saya butuhkan, karena ambisi bisa membuat saya semakin gila dan lupa, bahwa saya adalah entitas dengan kesadaran penuh yang punya waktu terbatas untuk hidup.
Jadi, daripada memaksakan kehendak yang belum tentu dapat memuaskan hasrat saya sebagai manusia yang penuh ambisi, lebih baik jalani apa yang ada di depan mata sambil memperhitungkan, apakah itu akan membuat saya lebih bahagia, atau tidak.
Saya hidup untuk kemarin, hari ini, besok, dan siklus itu akan terus berulang, siklus yang seharusnya membawa kesenangan luar biasa karena ada kesempatan untuk menelusuri liku kehidupan, mencari tahu misteri kehidupan, memecahkan masalah, dan mereplikasi diri untuk bercengkrama dengan versi sebelumnya yang berkumpul dalam satu entitas jiwa.
Jiwa yang kaya untuk memahami apa yang terjadi sebelumnya atau barangkali apa yang baru saja terjadi. Dan ini terjadi…
I discover one of my best talent: Mengubah mood dalam waktu yang begitu cepat.
Dari pagi ke siang saya sempatkan ke makam bapak, masih sedih rasanya ditinggal dia. Baru dua minggu kuburnya sudah blend-in dengan sekitarnya.
But life goes on, beberapa jam lagi saya mendapat kepercayaan dari salah satu brand fotografi dari Jepang, untuk menjadi MC dan moderator dalam acara brand itu.
MC-ing is not my thing, begitu juga dengan menjadi moderator, tapi saya lakukan beberapa kali.
Berbicara di tengah keramaian bukan saya banget, walaupun dalam pekerjaan sebelumnya ya mengharuskan untuk melakukan itu, ditonton orang se-Indonesia, dan bahkan dunia.
But it’s challenging for me. Dua jam berbicara dan semua akan terasa cepat. Saya sebenarnya adalah orang yang tidak cakap berbicara panjang lebar dengan orang-orang yang baru saya kenal, tapi demi menjaga profesionalisme toh tetap saya lakukan menjadi pribadi yang bubbly, padahal deep down inside I felt “Why I should do this?”
Selepas acara, saya pergi ke kedai kopi, memasang earpiece dan mendengarkan musik. Sendiri tanpa berbicara. Dari hingar bingar manusia, menetralkan diri mencari apa yang saya sebut solitude, ketenangan diri.
Because my energy was drained to please others. Seisi kepala punya banyak suara, ada yang mengeluh, mengapresiasi keberhasilan memenuhi tantangan, ada yang memang suka sendiri dan tidak mau diganggu oleh manusia lainnya, tapi selama teriakan-teriakan di kepala tidak terdengar oleh orang lain, ya tidak mengapa, toh saya sedang berakting menjadi pribadi lainnya yang sudah saya latih 10 tahun terakhir.
What about you share this story? Emang ada yang baca? Saya harap tidak ada yang baca. Kalaupun ada, ya biarkanlah. People only know 5% of me, it’s only the tip of an iceberg.
Comments
Post a Comment