Skip to main content

Pendosa dan malam seribu bulan

 Pendosa semacam diriku mana mungkin mendapatkan malam spesial itu yang konon hanya untuk orang suci tanpa dosa.


Ya kalau dipikir lagi, setiap manusia yang lahir di dunia ini sudah punya dosa. 


Eh tunggu, bayi kan tidak berdosa? Ketika dia bernafas, karbon yang ia hasilkan sudah mengotori Bumi meski perbandingannya hanya nol koma sekian embusan untuk Bumi.


Dosa terhadap Bumi meski sulit untuk dihitung. 


Adakah manusia yang tidak berdosa? 


Jadi ya tidak ada orang yang benar-benar tidak berdosa. 


Dosa lainnya adalah melakukan tindakan yang dilarang agama, yang juga sering manusia lakukan.


Atau dosa karena polah manusia yang terlalu sakti mandraguna merasa lebih dari yang lainnya sehingga bikin sengsara orang banyak? Ada juga kan dosa seperti itu. 


Tentu yang menimbang bukan manusia, tapi Tuhan.


Saya pernah berpikir, otak kita terbatas untuk memikirkan bagaimana awal kehidupan ini dibentuk, sehingga Tuhan itu ‘eksis’. 


Tangan kita memang bisa mengubah pasir jadi cermin, tapi…


Apakah bisa menghidupkan cermin?


Sesuatu yang ilmu pengetahuan belum bisa dijelaskan adalah perkara eksistensi Tuhan. 


Dan lewat apa yang saya percayai, dengan segala keterbatasan saya, Tuhan hadir dalam setiap kebajikan. 


Tuhan hadir dalam setiap kenikmatan dan kesengsaraan yang kita alami. 


Tempat kita meminta rasa aman. 


Saya tidak tahu apakah ini yang dimaksud malam seribu bulan yang saya nantikan seumur hidup. 

Setiap bulan Ramadan, mencoba berperilaku sebaik-baiknya seolah hidup saya hanya dinilai pada bulan itu.


Saya tidak tahu apakah perbuatan yang disebut baik itu diterima? 


Namun, suatu malam, saya bermimpi aneh sekali, lalu terbangun sampai berteriak Allahuakbar. 


Mengapa saya selalu mengingat namanya ketika sedang merasa terancam dalam keadaan sadar atau bahkan hanya di dalam mimpi. 


Saya pikir karena doktrin sejak kecil itulah yang membuat saya sebegitunya bergantung dengan yang maha esa.

Ternyata tidak, saya butuh dia. Dunia tanpa Tuhan bagi saya mungkin tidak akan sama lagi. 



Comments

Popular posts from this blog

Jalan Raya Tertinggi di Indonesia 3600 MDPL (1)

Dua tahun lalu, pergi ke Papua itu sangat mahal, bahkan lebih mahal ketimbang berlibur ke Jepang. Kalau bukan karena penugasan dari rapat redaksional, saya tak mungkin bisa ke sana. Saat itu saya mengejar cerita tentang kematian misterius puluhan anak di Distrik Mbua, Kabupaten Nduga. Saya masih ingat, penerbangan dari Jakarta, transit dahulu di Makassar, berlanjut menuju Manokwari, kemudian Jayapura, dan akhirnya tiba di Wamena. Bandaranya kala itu masih tradisional. Saya gambarkan seperti terminal bus era 90an. Tapi sekarang bandara yang baru sudah dibuka, setaraf dengan bandara-bandara di tempat saya dan tim, transit sebelum sampai Wamena. Pak Nico, driver kami menjemput dengan mobil yang memiliki spesifikasi tangguh di medan pegunungan. Kami mengisi bahan bakar dahulu. 20 liter bensin, seharga 2 juta rupiah. Saya dan kedua rekan langsung terkejut. Pegunungan di sekeliling menyembul, pamer keindahan. Saya tanyakan kepadanya, apakah dia bahagia tinggal d...

At the end of pandemic? A moment of new fresh air?

Ada di pertengahan film menuju klimaks atau ketika akhir di sebuah cerita ketika si tokoh utama memulai babak baru hidupnya. Dia berjalan dengan sangat meyakinkan meski tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.  Karena itu film dan dengan sengaja saya sering mencari momen new fresh air itu. Movies I watched did a great job to manipulate my inner child to find my own new fresh air moment. I did it everytime I have new project and finished, again and again, it was like a pattern of my work cycle.  A bit new fresh air isn't? Ketika Presiden Jokowi mengumumkan bahwa PPKM sudah dicabut, seharusnya menjadi momen 'a new fresh air' tapi bagi saya kok terasa hampa. Ada perasaan aneh ketika mengingat betapa pahit dan sekaligus manis kehidupan yang saya alami pada 2020 lalu.  Sepulang dari Taiwan pada Februari 2020 lalu, saya baru memahami bahwa pandemi global ini adalah kenyataan yang saya harus terima. Penyakit misterius yang belum ada obatnya dan seketika dunia menjadi sepi....

New York dan realita

Suatu hari saya pernah gagal melanjutkan sekolah di Universitas di New York, sudah kepalang tanggung resign dari tempat kerja. Terdampar ketika musim dingin dan kembali tertampar di realita Jakarta.  Bebeapa mungkin ada yang mencibir, tetapi saya pikir konsekuensi logis karena sudah woro-woro sekolah dan ternyata kembali tanpa gelar karena perkara funding.   Saya punya semacam “Hollywood dream” tentang New York, dicekoki semenjak film Home Alone dan sederet film lainnya yang menyuguhkan sisi gemerlap New York.  Atau buku-buku tentang New York dan meromantisasi kemegahan kota itu.  Itulah saya 10 tahun lalu. Anak muda yang mabuk cinta dengan kota yang digambarkan film-film. Belum berpikir bayar sewa tempat tinggal, makan sehari-hari dan apa yang akan saya lakukan selain jalan-jalan di Time Square dengan panoramic view lalu lari pagi di Central Park?  Saya berpikir begini: “Pokoknya saya harus bisa menetap di sana ketika usia 30an.” Dan lihatlah saya masih di Jaka...