Skip to main content

Serangkai bunga tanda cinta

Rekan sekantor saya tiba-tiba dikirimi bunga. Fansnya memang banyak karena dia pintar dan super dalam segala hal, suaranya kecil tapi keras, cara berjalannya lembut tapi gunung berkabut pun dia gapai, siapa saja pasti kagum dibuatnya. 


Dia sih bilangnya: “Ini aku kirim sendiri bunga kepada diriku.”


Seandainya pun dia benar mengirim bunga untuk dirinya sendiri, saya pikir itu adalah bentuk kecintaan terhadap dirinya. Suatu hal yang jarang sekali saya lihat.


Seperti cerita ibu. Seorang pria tampan idola para gadis dan ibu muda di daerah itu, mendorong vespanya sampai ujung jalan demi ketemu ibu dan memberikan rangkaian bunga tanda cintanya terhadap ibuku. Sayangnya foto pernikahan mereka sudah dibakar setelah bercerai, tapi kisah manis itu masih membekas di hati ibu, bahwa bapak saya yang selama ini jauh sekali, punya sisi romantis yang jarang dimiliki pria tampan pada zamannya.


Serangkai bunga tanda cinta, yang kemudian layu dan mengering jika didiamkan. Bukan berarti cintanya juga ikut kering. Serangkai bunga penanda momen cinta. Itu yang ibu ingat.


Pada kesempatan lain, beberapa tahun lalu, sepulang liputan, teman saya meminta saya menemani dirinya untuk ke Pasar Kembang Rawa Belong. “Jid temenin Jid, mau cari kembang.” 


Saya temani dia membeli serangkai bunga sedap malam. “Buat apa sih itu?” 


Dia jawab, “Buat aku lah, hari ini liputan lumayan berat, ini biar hatiku senang aja, anggap aku kasih hadiah ke diriku sendiri, toh aromanya juga bikin aku senang.” 


Dalam momen kebahagiaan, kedukaan, dan mungkin keseharian, serangkai bunga membangkitkan gairah kita untuk merasa lebih hidup. 


Dari tiga cerita itu, saya mencoba membeli serangkai bunga untuk diri saya sendiri. Sayangnya bunga itu dikirim ke ruang paket apartment. Jadi sedikit rusak karena mungkin tersenggol paket penghuni apartment lainnya. Tak mengapa yang penting saya merasa…telah dihargai oleh siapa lagi kalau bukan diri sendiri.


Bentuk cinta terhadap diri sendiri ini cukup simbolik tapi ampuh. Kalau ada yang tanya, kok cowok beli bunga? Ya kenapa tidak? 


Memang terdengar aneh, saya juga sempat berpikir, apa-apaan sih ini? 


Bunga itu saya taruh di vas yang saya isi air. Tempat yang sudah ada penghuninya yakni lucky bamboo yang syukurlah masih hidup sampai sekarang. 


Saya terus pandangi bunga itu sambil sesekali mencium aromanya. Dan lantas berpikir “Kok bisa ya orang menanam dan berbunga setiap hari?” 


Jika bunganya tidak laku dalam sehari kan mubazir. 





Comments

Popular posts from this blog

Jalan Raya Tertinggi di Indonesia 3600 MDPL (1)

Dua tahun lalu, pergi ke Papua itu sangat mahal, bahkan lebih mahal ketimbang berlibur ke Jepang. Kalau bukan karena penugasan dari rapat redaksional, saya tak mungkin bisa ke sana. Saat itu saya mengejar cerita tentang kematian misterius puluhan anak di Distrik Mbua, Kabupaten Nduga. Saya masih ingat, penerbangan dari Jakarta, transit dahulu di Makassar, berlanjut menuju Manokwari, kemudian Jayapura, dan akhirnya tiba di Wamena. Bandaranya kala itu masih tradisional. Saya gambarkan seperti terminal bus era 90an. Tapi sekarang bandara yang baru sudah dibuka, setaraf dengan bandara-bandara di tempat saya dan tim, transit sebelum sampai Wamena. Pak Nico, driver kami menjemput dengan mobil yang memiliki spesifikasi tangguh di medan pegunungan. Kami mengisi bahan bakar dahulu. 20 liter bensin, seharga 2 juta rupiah. Saya dan kedua rekan langsung terkejut. Pegunungan di sekeliling menyembul, pamer keindahan. Saya tanyakan kepadanya, apakah dia bahagia tinggal d...

At the end of pandemic? A moment of new fresh air?

Ada di pertengahan film menuju klimaks atau ketika akhir di sebuah cerita ketika si tokoh utama memulai babak baru hidupnya. Dia berjalan dengan sangat meyakinkan meski tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.  Karena itu film dan dengan sengaja saya sering mencari momen new fresh air itu. Movies I watched did a great job to manipulate my inner child to find my own new fresh air moment. I did it everytime I have new project and finished, again and again, it was like a pattern of my work cycle.  A bit new fresh air isn't? Ketika Presiden Jokowi mengumumkan bahwa PPKM sudah dicabut, seharusnya menjadi momen 'a new fresh air' tapi bagi saya kok terasa hampa. Ada perasaan aneh ketika mengingat betapa pahit dan sekaligus manis kehidupan yang saya alami pada 2020 lalu.  Sepulang dari Taiwan pada Februari 2020 lalu, saya baru memahami bahwa pandemi global ini adalah kenyataan yang saya harus terima. Penyakit misterius yang belum ada obatnya dan seketika dunia menjadi sepi....

New York dan realita

Suatu hari saya pernah gagal melanjutkan sekolah di Universitas di New York, sudah kepalang tanggung resign dari tempat kerja. Terdampar ketika musim dingin dan kembali tertampar di realita Jakarta.  Bebeapa mungkin ada yang mencibir, tetapi saya pikir konsekuensi logis karena sudah woro-woro sekolah dan ternyata kembali tanpa gelar karena perkara funding.   Saya punya semacam “Hollywood dream” tentang New York, dicekoki semenjak film Home Alone dan sederet film lainnya yang menyuguhkan sisi gemerlap New York.  Atau buku-buku tentang New York dan meromantisasi kemegahan kota itu.  Itulah saya 10 tahun lalu. Anak muda yang mabuk cinta dengan kota yang digambarkan film-film. Belum berpikir bayar sewa tempat tinggal, makan sehari-hari dan apa yang akan saya lakukan selain jalan-jalan di Time Square dengan panoramic view lalu lari pagi di Central Park?  Saya berpikir begini: “Pokoknya saya harus bisa menetap di sana ketika usia 30an.” Dan lihatlah saya masih di Jaka...