Gajah Sumatera mati karena diduga diracun manusia. Why this kind of shit always happen when human tried to do something in selfish way.
Begini, coexist memang omong kosong kalau manusianya terlalu egois, egois saja tidak cukup (karena pada waktu tertentu kita juga butuh selfish) lebih tepatnya serakah.
Jadi, hutan dibabat, ya semua juga tahu. Luasannya semakin berkurang bukan karena koloni manusia yang menghuni wilayah itu melainkan pemenuhan kebutuhan manusia dari si pemerah sapi sampai sapi perahnya.
Ok, pemerah sapi itu mereka yang punya modal, sapi perahnya ya kita ini, 250 juta lebih manusia yang hidup di Indonesia dan siap untuk membeli apa saja yang penting puas tanpa peduli asal-usul barang yang kita beli.
Pekan ini rekan saya menulis tentang janji manis pengusaha terhadap masyarakat adat yang dijadikan petani plasma sawit, singkat cerita tahu lah siapa yang dirugikan.
Rasa-rasanya ketika melihat ketidakadilan di depan mata, ingin memanggil malaikat untuk meniup terompet sangkakala.
Biar saja semua binasa.
Ketidakadilan itu diciptakan manusia atas kesadaran penuh dan memang itu yang mereka inginkan. Padahal ibu pertiwi sudah sangat baiknya ‘mengadili’ semua makhluk hidup hingga benda mati yang ada di planet ini.
Membuat keseimbangan lewat segala peristiwa alam yang terjadi. Hanya saja, manusia merusak sistem peradilan Bumi itu.
Kalau di perkebunan, segala sesuatu di luar manusia dianggap hama. Kalau di perkotaan bagaimana?
Ternyata ada juga meski dimensinya lain, energi serakahnya sama.
Deddy Corbusier misalnya. Karena desakan publik (publik yang mana saya juga tidak paham) menghapus konten ngobrol-ngobrolnya dengan Ragil dan pasangannya.
Atas dasar Ragil dan pasangannya adalah bagian dari komunitas LGBTQ++.
Isu LGBT itu meledak karena dimanfaatkan pejabat publik (saya menyesal membayar pajak untuk gaji dan fasilitas pejabat) yang mencuit tentang perzinaan & LGBT dimasukkan dalam RKUHP.
Saya tidak sekolah hukum dan tidak mendalami ilmu hukum dan atau kebijakan publik, tetapi saya tahu bahwa alat reproduksi manusia bukan milik negara yang harus diatur sedemikian rupa sehingga rawan persekusi bagi mereka yang emang ngewe dengan konsen bersama.
Hebat memang, isu minoritas ini selain LGBT ya banyak, mereka yang susah payah membangun dan mengajukan izin tempat ibadah, mereka yang dianggap aliran sesat, kepercayaan, dan lainnya bukankah sering dijadikan alasan untuk persekusi karena hukum sepertinya hanya adil bagi mereka yang mayoritas.
I am being part of Indonesian majority moslem dan sadar bahwa itu adalah privilese yang saya punya sejak lahir. Entah nanti jadinya muslim asal-asalan atau tidak ya.
Apalagi dunia patriarki dengan segala polesan maskulinitas yang mendominasi, wow sesuatu nilai plus bagi saya sebagai lelaki muslim yang hidup di Indonesia.
Namun tidak dengan perempuan. Perempuan Indonesia kebanyakan sudah diatur harus menjadi apa sejak lahir. Bagi mereka yang bisa menjadi dirinya sendiri dan mewujudkan cita-citanya di luar kemauan society entah dia beruntung atau dianggap sial juga oleh society. That’s the fact kan?
Dan, lebih ngenes lagi perempuan Afghanistan yang terpaksa harus memakai cadar karena aturan Taliban (Yang ternyata aturan itu dibuat oleh laki-laki). Apakah lelaki tidak perlu mendengar suara perempuan atau sebaliknya? Apakah perempuan hanya berharga lewat alat reproduksinya? Lewat penampilan fisiknya sehingga semua harus diatur, tak hanya tubuh bahkan jiwanya.
Oleh karena itu setiap ada kasus kekerasan seksual, dengan penuh kuasa, lelaki selalu tampil bak detektif menyangsikan kebenaran atas apa yang dialami korban.
Apa namanya kalau bukan serakah dalam peran? Peran sebagai lelaki maskulin yang gagah dan memandang segala sesuatunya lebih rendah ketimbang dirinya?
Hukum tidak adil bagi mereka yang teraniaya dan terkucilkan.
Hukum begitu berpihak bagi mereka yang sudah punya kuasa, suara, hingga lupa tujuan hukum itu sebenarnya menciptakan keadilan.
Kadang saya merasa, biar saja ‘peradilan Bumi’ yang bekerja jika sudah begini keadaannya.
Comments
Post a Comment