Skip to main content

The race of nothing

 I keep in mind when I think I'm on a race, there will be no race. 



Mengapa banyak dari kita yang merasa akan lebih baik jika telah 'menaklukkan' suatu hal. 


Satu hal yang pasti, saya bukan saingan Anda. I try to do my best and the rest is...having fun. 


Idealnya begitu, tapi saya merasa senang jika telah mengalahkan seseorang dan unggul. 


Sedetik kemudian, langsung bertanya dalam hati "Mengapa harus berkompetisi?"


Dan terus berulang. Semacam afirmasi bahwa saya adalah orang yang lebih baik daripada yang lain. 


Kadang berkompetisi seperti sebuah sistem otomatis yang membuat manusia terus berlari, karena sudah otomatis, kadang juga sulit dikontrol. 


Dari hal yang sepele sampai yang bisa menentukan hajat hidup orang banyak, semua adalah andil kompetisi. 


I hate being in a race since I was a kid. There's two option when I was in school, I can't be the top of the class so I chose to be in the middle. It's good for me because I'm invisible. 


But the system forced me to join. 


Once I won. Everyone are stunned, they can't believe what I'm doing. 


Best in anthropology, top 5 in last exam before college year, I'm surprised. 


Kita semua ibarat naik tangga, siapa yang cepat sampai mungkin akan mendapatkan benefit lebih. 


Lalu saya berpikir, yang menang dalam sebuah kompetisi kebanyakan adalah menggunakan faktor momentum. 


Jika tepat, pastilah kau akan menang, yang artinya, saya juga masih percaya sebuah kemenangan bisa berasal dari kebetulan. 


Gerhana matahari tidak terjadi setiap hari, tapi dalam momentum yang tepat gerhana matahari pasti akan terjadi.


Meski langka kejadiannya, kompetiso juga mungkin saja bisa berlandaskan kepasrahan.


Seiring dengan proses pendewasaan dan segala ambisi dalam hidup, saya tercetak untuk berkompetisi. 


Dan sejujurnya, jika semua orang berkompetisi, seperti apa yang terjadi saat ini, mungkin sudah barang tentu kita mulai belajar kembali memaknai manusia bukan sebagai mesin yang bekerja 24 jam dan teriak "Hai saya masih hidup, ada saya di sini, tengoklah."


Kompetisi adalah juga mencari perhatian, mempertahankan eksistensi. 


Mungkin ini yang sudah turun-temurun terjadi dari darah ke darah para leluhur. 


Mereka berkompetisi dengan cuaca, hewan buruan, sesama manusia dan alam.


Terlalu jauh untuk menarik garis kompetisi sampai mengadah ke cabang pohon keluarga yang tidak pernah saya kenal. 


Tapi begini, bisakah kita menyudahi kompetisi ini, lalu bergumul? 



Comments

Popular posts from this blog

Jalan Raya Tertinggi di Indonesia 3600 MDPL (1)

Dua tahun lalu, pergi ke Papua itu sangat mahal, bahkan lebih mahal ketimbang berlibur ke Jepang. Kalau bukan karena penugasan dari rapat redaksional, saya tak mungkin bisa ke sana. Saat itu saya mengejar cerita tentang kematian misterius puluhan anak di Distrik Mbua, Kabupaten Nduga. Saya masih ingat, penerbangan dari Jakarta, transit dahulu di Makassar, berlanjut menuju Manokwari, kemudian Jayapura, dan akhirnya tiba di Wamena. Bandaranya kala itu masih tradisional. Saya gambarkan seperti terminal bus era 90an. Tapi sekarang bandara yang baru sudah dibuka, setaraf dengan bandara-bandara di tempat saya dan tim, transit sebelum sampai Wamena. Pak Nico, driver kami menjemput dengan mobil yang memiliki spesifikasi tangguh di medan pegunungan. Kami mengisi bahan bakar dahulu. 20 liter bensin, seharga 2 juta rupiah. Saya dan kedua rekan langsung terkejut. Pegunungan di sekeliling menyembul, pamer keindahan. Saya tanyakan kepadanya, apakah dia bahagia tinggal d...

At the end of pandemic? A moment of new fresh air?

Ada di pertengahan film menuju klimaks atau ketika akhir di sebuah cerita ketika si tokoh utama memulai babak baru hidupnya. Dia berjalan dengan sangat meyakinkan meski tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.  Karena itu film dan dengan sengaja saya sering mencari momen new fresh air itu. Movies I watched did a great job to manipulate my inner child to find my own new fresh air moment. I did it everytime I have new project and finished, again and again, it was like a pattern of my work cycle.  A bit new fresh air isn't? Ketika Presiden Jokowi mengumumkan bahwa PPKM sudah dicabut, seharusnya menjadi momen 'a new fresh air' tapi bagi saya kok terasa hampa. Ada perasaan aneh ketika mengingat betapa pahit dan sekaligus manis kehidupan yang saya alami pada 2020 lalu.  Sepulang dari Taiwan pada Februari 2020 lalu, saya baru memahami bahwa pandemi global ini adalah kenyataan yang saya harus terima. Penyakit misterius yang belum ada obatnya dan seketika dunia menjadi sepi....

New York dan realita

Suatu hari saya pernah gagal melanjutkan sekolah di Universitas di New York, sudah kepalang tanggung resign dari tempat kerja. Terdampar ketika musim dingin dan kembali tertampar di realita Jakarta.  Bebeapa mungkin ada yang mencibir, tetapi saya pikir konsekuensi logis karena sudah woro-woro sekolah dan ternyata kembali tanpa gelar karena perkara funding.   Saya punya semacam “Hollywood dream” tentang New York, dicekoki semenjak film Home Alone dan sederet film lainnya yang menyuguhkan sisi gemerlap New York.  Atau buku-buku tentang New York dan meromantisasi kemegahan kota itu.  Itulah saya 10 tahun lalu. Anak muda yang mabuk cinta dengan kota yang digambarkan film-film. Belum berpikir bayar sewa tempat tinggal, makan sehari-hari dan apa yang akan saya lakukan selain jalan-jalan di Time Square dengan panoramic view lalu lari pagi di Central Park?  Saya berpikir begini: “Pokoknya saya harus bisa menetap di sana ketika usia 30an.” Dan lihatlah saya masih di Jaka...