Suatu hari saya pernah gagal melanjutkan sekolah di Universitas di New York, sudah kepalang tanggung resign dari tempat kerja. Terdampar ketika musim dingin dan kembali tertampar di realita Jakarta.
Bebeapa mungkin ada yang mencibir, tetapi saya pikir konsekuensi logis karena sudah woro-woro sekolah dan ternyata kembali tanpa gelar karena perkara funding.
Saya punya semacam “Hollywood dream” tentang New York, dicekoki semenjak film Home Alone dan sederet film lainnya yang menyuguhkan sisi gemerlap New York.
Atau buku-buku tentang New York dan meromantisasi kemegahan kota itu.
Itulah saya 10 tahun lalu. Anak muda yang mabuk cinta dengan kota yang digambarkan film-film. Belum berpikir bayar sewa tempat tinggal, makan sehari-hari dan apa yang akan saya lakukan selain jalan-jalan di Time Square dengan panoramic view lalu lari pagi di Central Park?
Saya berpikir begini: “Pokoknya saya harus bisa menetap di sana ketika usia 30an.” Dan lihatlah saya masih di Jakarta, menulis ini sembari rebahan di kasur empuk ditemani kucing kesayangan. Jakarta bagi saya adalah tempat yang begitu nyaman dan menawarkan segala kebutuhan hidup yang saya perlukan.
Ya mungkin nanti bisa hidup di New York, sebagai pengunjung saja, karena sudah malas hidup bak dongeng di sana. Bagaimana bisa keinginan saya berubah dalam waktu sepuluh tahun?
Seorang teman baru pindah ke sana, memulai hidup di belantara kota New York, itu semacam impian saya 10 tahun lalu dan sekarang tidak saya inginkan lagi.
Hidup itu kadang lucu, hidup itu ternyata tentang apa perlunya bukan apa maunya.
Comments
Post a Comment