Skip to main content

At the end of pandemic? A moment of new fresh air?


Ada di pertengahan film menuju klimaks atau ketika akhir di sebuah cerita ketika si tokoh utama memulai babak baru hidupnya. Dia berjalan dengan sangat meyakinkan meski tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. 

Karena itu film dan dengan sengaja saya sering mencari momen new fresh air itu.

Movies I watched did a great job to manipulate my inner child to find my own new fresh air moment.

I did it everytime I have new project and finished, again and again, it was like a pattern of my work cycle. 

A bit new fresh air isn't? Ketika Presiden Jokowi mengumumkan bahwa PPKM sudah dicabut, seharusnya menjadi momen 'a new fresh air' tapi bagi saya kok terasa hampa. Ada perasaan aneh ketika mengingat betapa pahit dan sekaligus manis kehidupan yang saya alami pada 2020 lalu. 

Sepulang dari Taiwan pada Februari 2020 lalu, saya baru memahami bahwa pandemi global ini adalah kenyataan yang saya harus terima. Penyakit misterius yang belum ada obatnya dan seketika dunia menjadi sepi. 

Bagi banyak orang, itu merupakan pukulan telak karena sumber penghidupan mereka terenggut. 

Suara ambulans semakin kencang hingga terdengar masuk ke unit apartemen tempat saya tinggal. Kantor ditutup, semua pegawai diharuskan kerja dari rumah. 

Selama pandemi, terutama pada 2020 dan 2021, kebanyakan waktu saya habiskan di rumah untuk bekerja, jauh lebih produktif ketimbang jika WFO. Saya bisa memangkas waktu sekitar 3 jam dari rumah ke kantor dan sebaliknya. 


Adapun kesempatan ke kantor saya gunakan untuk syuting membawakan program yang tayang di TV nasional dan ketika sedang liputan.

Masa-masa itu ternyata membuat memori tersendiri dalam benak ini, bercampur menjadi satu. Momen kontemplasi menjadi manusia dengan segala cela yang mungkin sebelumnya luput saya lihat terbenam kehidupan sibuk ini.

Saya menyebutnya kemanisan pandemi. Saya termasuk yang beruntung karena masih memiliki pekerjaan tetap dan tempat saya bekerja begitu mengakomodir kebutuhan karyawannya ketika pandemi. 

Waktu berharga selama 2,5 tahun ini ternyata berlalu secepat itu. Tahun ini saya kehilangan bapak dan nenek dalam waktu yang berdekatan, mereka meninggal dunia karena Covid-19. 

Menangis sendirian hingga akhirnya memutuskan cuti untuk melihat pusara keduanya. 

Masa pandemi ini mengajarkan saya untuk lebih disiplin, menjaga kesehatan, badan, dan terutama mental. 

Bahwa dalam setiap renungan luka masa kecil kembali terkoyak, semua itu saya dapatkan pada 2021 lalu. 

Sepanjang 2022, saya menyiapkan diri apabila pandemi selesai. Membiasakan diri kembali untuk terlarut sibuk dalam kebiasaan manusia sebelum pandemi...tetapi saya toh tidak bisa. Ini bukan momen fresh new air yang saya harapkan.

Momen itu yang saya bayangkan semenjak hari pertama PPKM, tapi ternyata bukan yang saya butuhkan. 

Kapasitas transportasi umum akan kembali sesak, bejubel, desak-desakan, di mana-mana akan ramai hingga suaranya membuat saya pusing. 

Lalu pada 1 Januari 2023, saya menulis daftar apa saja yang harus saya lakukan pada 2023, dan salah satunya mempersiapkan mental jika saja kantor menerapkan full WFO. 

Good thing from pandemic is: We can actually work from home, lebih produktif pula. Bahkan memberi waktu yang lebih jika dibutuhkan. Dan ketika PPKM sudah dicabut kita sudah lupa akan hal itu, lupa bahwa kerumunan bisa berakhir sebagai malapetaka, bahwa ada orang-orang introvert yang deep down inside meraung karena keramaian duniawi. 

But, life must go on, que sera. I think this paraghraph tells the meaning of 'new fresh air'. 

Comments

Popular posts from this blog

Jalan Raya Tertinggi di Indonesia 3600 MDPL (1)

Dua tahun lalu, pergi ke Papua itu sangat mahal, bahkan lebih mahal ketimbang berlibur ke Jepang. Kalau bukan karena penugasan dari rapat redaksional, saya tak mungkin bisa ke sana. Saat itu saya mengejar cerita tentang kematian misterius puluhan anak di Distrik Mbua, Kabupaten Nduga. Saya masih ingat, penerbangan dari Jakarta, transit dahulu di Makassar, berlanjut menuju Manokwari, kemudian Jayapura, dan akhirnya tiba di Wamena. Bandaranya kala itu masih tradisional. Saya gambarkan seperti terminal bus era 90an. Tapi sekarang bandara yang baru sudah dibuka, setaraf dengan bandara-bandara di tempat saya dan tim, transit sebelum sampai Wamena. Pak Nico, driver kami menjemput dengan mobil yang memiliki spesifikasi tangguh di medan pegunungan. Kami mengisi bahan bakar dahulu. 20 liter bensin, seharga 2 juta rupiah. Saya dan kedua rekan langsung terkejut. Pegunungan di sekeliling menyembul, pamer keindahan. Saya tanyakan kepadanya, apakah dia bahagia tinggal d...

New York dan realita

Suatu hari saya pernah gagal melanjutkan sekolah di Universitas di New York, sudah kepalang tanggung resign dari tempat kerja. Terdampar ketika musim dingin dan kembali tertampar di realita Jakarta.  Bebeapa mungkin ada yang mencibir, tetapi saya pikir konsekuensi logis karena sudah woro-woro sekolah dan ternyata kembali tanpa gelar karena perkara funding.   Saya punya semacam “Hollywood dream” tentang New York, dicekoki semenjak film Home Alone dan sederet film lainnya yang menyuguhkan sisi gemerlap New York.  Atau buku-buku tentang New York dan meromantisasi kemegahan kota itu.  Itulah saya 10 tahun lalu. Anak muda yang mabuk cinta dengan kota yang digambarkan film-film. Belum berpikir bayar sewa tempat tinggal, makan sehari-hari dan apa yang akan saya lakukan selain jalan-jalan di Time Square dengan panoramic view lalu lari pagi di Central Park?  Saya berpikir begini: “Pokoknya saya harus bisa menetap di sana ketika usia 30an.” Dan lihatlah saya masih di Jaka...